Kamis, 15 Januari 2009

gillnet

Gambaran secara umum
Gill net sering diterjemahkan dengan “ jarring insang ”, jarring rahang. Istilah
gill net didasarkan pada pemikiran bahwa ikan ikan yang tertangkap ‘ gill net ‘ terjerat di sekitar operculumnya pada mata jarring
Tertangkapnya ikan dengan gill net ialah dengan cara ikan ikan tersebut terjerat
( gilled ) pada mata jarring ataupun terbelit ( entangled ) pada tubuh jarring
Pada umumnya yang disebutkan dengan gill net ialah jarring yang berbentuk empat persegipanjang, mempunyai mata jarring yang sama ukurannya pada seluruh jarring, lebar lebihpendek jika dibandingkan dengan panjangnya. Dengan perkataan lain, jumlah mesh depth lebihsedikit jika dibandingkan dengan jumlah mesh size pada arah panjang jarring ( Ayodhyoa, 1981 )
B. Jenis jenis Gill Net
Berdasarkan cara operasi ataupun kedudukan jarring dalam perairan maka Ayodhyoa (1981) dan Nomura ( 1978 ) membedakan :
Surface Gill Net
Float line ( tali pelampung, tali ris atas ) akan berada di permukaan air ( sea surface ).
2. Bottom Gill Net
Karena jarring ini direntang dekat pada dasar laut, maka dinamakan bottom gill net, berarti jenis ikan yang menjadi tujuan penagkapan ialah ikan ikan dasar ( bottom fish ) ataupun ikan ikan demersal.
3. Drift Gill Net
Posisi jarring ini tidak ditentukan oleh adanya jangkar tetapi bergerak hanyut bebas mengikuti arah gerakan arus.
gill net ini dapat pula digunakan untuk mengejar gerombolan ikan dan merupakan suatu alat penangkap yang penting untuk perikanan laut bebas.
4. Encricling gill net atau Surrounding gill net
Gerombolan ikan dilingkari dengan jarring, antara lain digunakan untuk menghadang arah lari ikan.
Sinker line haruslah menyentuh dasar perairan. Oleh karena itu pada operasi keadaan pasang naik / pasang surut perlulah mendapatkan perhatian. Alat ini juga banyak dipakai oleh nelayan untuk menangkap ikan yang hidup di perairan karang
C. Syarat syarat yang harus dipenuhi oleh gillnet
kekuatan dari twine (Rigidity of Netting twine )
Twine yang dipergunakan hendaklah lembut, tidak kaku, pliancy, suppleness terutama bagi jarring yang ditujukan untuk menangkap ikan dengan cara entangled hal ini sangatlah perlu
b. ketegangan rentangan tubuh jarring
Yang dimaksud dengan ketegangan rentang disini ialah rentangan ke arah
lebar atau ke arah rentangan panjang jaring..
c. shortening atau shrinkage
pengerutan yaitu beda panjang tubuh jarring dalam keadaan tegang sempurna ( stretch ) dengan panjang jarring setelah diletakkan pada float line atau sinker line dan dinyatakan dalam persen.

d. tinggi jarring
Yang dimaksud dengan istilah tinggi jarring disini ialah jarak antara float line ke sinker line pada saat jarring tersebut terpasang di perairan
e. mesh size dan besar Ikan
Untuk mendapatkan catch yang besar jumlahnya pada suatu fishing ground, hendaklah mesh size disesuaikan besarnya dengan besar badan ikan yang jumlahnya terbanyak pada fishing ground tersebut.
f.warna jarring
hendaklah warna jarring sama dengan warna air di perairan tersebut.
D. Kesimpulan
Gill net mudah dioperasikan dan merupakan alat penangkapan yang harganya relative murah sehingga pengembangan alat ini sangat besar pengaruhnya terhadap peningkatan pendapatan nelayan dan produksi ikan. Ciri utama dari dari alat penangkapan ikan jenis gill net atau jarring ingsang ini adalah sifat selektifitas dalam penangkapan ikan. Sifat ini disamping mengandung aspek positif karena dapat menangkap ikan menurut ukuran ikan yang dikehendaki sesuai dengan keperluan konsumen, di lain pihak dapat mengundang sisi negative karena dapat menangkap ukuran ikan yang seharusnya dilarang demi kelestarian sumberdaya hayati perairan.

Sistem Informasi Manajemen

Sistem Informasi Manajemen

Oleh:irfanto

Pengertian

Sistem Informasi Manajemen (SIM)

- SIM terutama melayani fungsi perencanaan, pengendalian, dan pengambilan keputusan di tingkat manajemen

- SIM merangkum dan melaporkan operasi-operasi dasar dari perusahaan

- SIM biasanya melayani manajer yang tertarik pada hasil-hasil mingguan, bulanan, dan tahunan

Sistem Pendukung (pengambilan)Keputusan (SPK)

- SPK membantu para manajer untuk mengambil keputusan yang semi-terstruktur, unik, atau berubah dengan cepat, dan tidak dapat ditentukan dengan mudah di awal

- SPK lebih memiliki kemampuan analisis dibandingkan sistem lain

Karakteristik Sistem Informasi Manajemen

- SIM mendukung pengambilan keputusan terstruktur pada tingkat kendali operasional dan manajemen. Juga berguna untuk tujuan-tujuan perencanaan bagi manajer senior

- Biasanya berorientasi pada pelaporan dan pengendalian

- SIM bergantung pada basis data dan alur data yang telah tersedia di perusahaan

- SIM memiliki kapabilitas analitik

- SIM secara umum membantu dalam pengambilan keputusan menggunakan data saat ini dan masa lalu

- SIM bisa memiliki orientasi internal atau eksternal

Jenis Sistem Informasi

Terdapat bermacam-macam sistem informasi, sesuai dengan tingkatan manajemen dan fungsi bisnisnya, sebagaimana terlihat pada ilustrasi berikut

Siklus Hidup Pengembangan

Metode pengembangan Sistem Informasi meliputi beberapa tahap secara umum sebagai berikut

1. Perencanaan

2. Analisis

3. Perancangan

4. Pengembangan

5. Penggunaan

Tahap Perencanaan

Tujuan

1. menentukan ruang lingkup proyek

2. mengenali berbagai area permasalahan potensial

3. mengatur urutan tugas

4. membuat dasar untuk pengendalian

Tahap Analisis

Tujuan : penelitian sistem yang telah ada dengan target merancang sistem yang baru atau diperbarui

Langkah-langkah :

1. sosialisasi penelitian sistem

2. pengorganisasian tim proyek

3. mendefinisikan kebutuhan sistem informasi

4. menyiapkan usulan rancangan

5. menerima / menolak rancangan

Tahap Perancangan

Tujuan : menentukan operasi dan data yang dibutuhkan oleh sistem baru

Langkah :

1. menyaipakan rancangan sistem terperinci

2. mengidentifikasi berbagai alternatif konfigurasi sistem

3. mengevaluasi berbagai alternatif sistem

4. memilih konfigurasi terbaik

5. menyiapkan usulan penerapan

Tahap Pengembangan

Tujuan : memperoleh dan mengintegrasikan sumber daya fisik dan konseptual yang menghasilkan sebuiah sistem yang bekerja

Langkah :

1. merencanakan pengembangan

2. mendapatkan sumberdaya perangkat keras dan lunak

3. menyiapkan basisdata

4. melatih pengguna

5. masuk ke sistem baru

Tahap Penggunaan

Tujuan : menggunakan sistem baru, melakukan penelitian formal untuk menilai sejauh mana kinerja sistem baru dan memeliharanya

Langkah :

1. menggunakan sistem baru

2. mengaudit sistem baru

3. memelihara : memperbaiki kesalahan, memutakhirkan, dan meningkatkan lagi sistem

Kamis, 08 Januari 2009

PENANGANAN DAN PENGOLAHAN BAHAN/MATERIAL PRODUK PERIKANAN BUDIDAYA

PENANGANAN DAN PENGOLAHAN BAHAN/MATERIAL PRODUK PERIKANAN BUDIDAYA
DALAM MENGHADAPI PASAR GLOBAL: PELUANG DAN TANTANGAN
Oleh:
irfanto
I. PENDAHULUAN
Sektor perikanan memegang peranan penting dalam perekonomian nasional terutama dalam penyediaan lapangan kerja, sumber pendapatan bagi nelayan/petani ikan, sumber protein hewani yang bernilai gizi tinggi, serta sumber devisa yang sangat potensial.
Dalam beberapa tahun terakhir ini ekspor komoditi perikanan Indonesia terus menunjukkan laju kenaikan. Berbeda dengan komoditi lain yang mengalami kemerosotan ekspor sebagai dampak krisis moneter, ekspor produk perikanan hampir tidak terpengaruh oleh resesi ekonomi bahkan nilainya cenderung meningkat. Dari data ekspor perikanan tahun 1994 – 1998 menunjukkan kenaikan 7,01 % pertahun (volume) dan 4,9 % pertahun (nilai) (Ditjen Perikanan, 2000). Kecenderungan ini nampaknya disebabkan karena kandungan lokal komoditi perikanan sangat tinggi sehingga daya saingnya di pasaran global lebih kuat. Selain itu pula kekurangan pasokan ikan di pasaran dunia ikut mempengaruhi kecenderungan tersebut, dimana menurut FAO diperkirakan kekurangan tersebut hingga tahun 2010 dapat mencapai 2 juta ton pertahun.
Pasar domestik cukup kuat, dari produksi perikanan 1998 tercatat 4,7 juta ton yang dipasarkan dalam negeri sebesar 4 juta ton dan ini masih belum cukup memenuhi kecukupan pangan penduduk akan ikan. Berdasarkan PROTEKAN 2003 tingkat konsumsi ikan per kapita penduduk Indonesia pada tahun 1998 baru mencapai 19,25 kg/kapita/tahun atau 72,5 % dari standar kecukupan pangan akan ikan (26,55 kg/kapita/tahun) (Kusumastanto, 2001). Dengan ditargetkan 22 kg/kapita saja, pasar domestik masih memerlukan tambahan pasok ikan lebih 0,5 juta ton/tahun (Suboko, 2001). Hal ini tidak mungkin dipenuhi oleh usaha penangkapan saja tetapi juga oleh hasil budidaya. Bila dilihat dari produksi perikanan 4,7 juta ton, lebih dari 75 % dari produksi tersebut berasal dari penangkapan. Disisi lain dari sumberdaya ikan lestari (MSY) sebesar 6,2 juta ton/tahun produksi penangkapan hampir mendekati titik jenuh. Sedangkan potensi untuk perikanan budidaya masih sangat besar, dimana 4,29 juta ha hutan bakau yang ada 830.000 ha (20 %) dapat dimanfaatkan untuk budidaya air payau, perairan umum seluas 14 juta ha, dimana 140.000 ha dapat dimanfaatkan untuk budidaya air tawar belum lagi luasnya daerah persawahan (1,7 juta ha) yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya (mina padi) serta perairan pantai seluas 80.925 ha, dapat dimanfaatkan untuk budidaya laut (Ditjen Perikanan, 1995).
Dengan demikian peluang untuk mengembangkan perikanan budidaya masih sangat besar guna memenuhi kebutuhan pasar domestik dan dunia. Sedangkan tantangan yang akan terus dihadapi pada pasar dunia bagi komoditi ekspor perikanan budidaya adalah yang menyangkut mutu dan sanitasi (food safety) seperti masalah kandungan hormon dan antibiotik, bakteri patogen, racun hayati laut (biotoxyn), pestisida, dimana kandungan-kandungan ini berasal dari lingkungan budidaya serta masalah lain seperti gencarnya kampanye anti udang tambak oleh GAA (Global Aquaculture Alliance) dengan anggapan merusak hutan bakau dan kelestarian lingkungan. Oleh karena itu perlu meningkatkan komoditi-komoditi yang dibutuhkan pasar dan bernilai tinggi serta menerapkan system jaminan mutu/food safety (HACCP) di unit-unit produksi yang diwajibkan oleh CAC/FAO/WHO (Codex Alimentarius Commission) dan negara-negara importir. Disamping itu setiap pembuat tambak udang selalu mengikuti kaidah-kaidah AMDAL dan kelestarian lingkungan yang berlaku sehingga tidak menimbulkan masalah yang berkaitan dengan ekspor udang tambak.
Dalam penanganan dan pengolahan pasca panen disamping mengantisipasi mutu dan aspek “food safety” maka perlu dikembangkan jenis olahan yang dapat lebih memberikan nilai tambah dengan diversifikasi olahan dari produk primer ke produk sekunder dan produk siap makan (ready to eat).
I.2. PELUANG EKSPOR KOMODITI PERIKANAN BUDIDAYA
Peluang Sumber daya perikanan budidaya
Kebutuhan ikan untuk pasar dunia sampai tahun 2010 diperkirakan oleh FAO, masih akan kekurangan pasok ikan sebesar 2 juta ton/tahun. Hal ini tidak mungkin dipenuhi oleh usaha penangkapan, namun harus dipasok oleh usaha budidaya.
Indonesia mempunyai peluang yang sangat baik untuk terus mengembangkan perikanan budidaya. Hal ini didukung dari data Ditjen Perikanan (1995), bahwa potensi sumberdaya perikanan yang sangat besar khususnya untuk jenis-jenis ikan komersial seperti udang, kerapu, baronang, kakap putih, rumput laut, kerang-kerangan, paha kodok, bekicot dan lain-lainnya. Dengan areal hutan bakau seluas 830.000 ha dapat dimanfaatkan untuk pertambakan dengan potensi produksi 964.143 ton udang dan 308.275 ton ikan. Sedangkan dari perairan umum (waduk, danau, rawa, sungai, dan lainnya), 140.000 ha dapat dimanfaatkan untuk budidaya air tawar yang diperkirakan produksinya mencapai 800.000 – 900.000 ton pertahun, belum lagi daerah persawahan (1,7 juta ha) yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya mina padi. Sedangkan perairan pantai seluas 80.925 ha, dapat dimanfaatkan untuk budidaya laut dengan potensi produksi 46,73 ton pertahun yang terdiri dari ikan 1,08 juta ton, kerang-kerangan 45,171 juta ton dan rumput laut 482 ribu ton.
Secara umum permintaan terhadap komoditi perikanan Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Beberapa jenis komoditas perikanan Indonesia yang diekspor adalah udang, tuna/cakalang, rumput laut, kepiting, kerang-kerangan dan lain sebagainya. Sementara itu, meningkatnya permintaan ikan di pasaran dunia dipengaruhi oleh meningkatnya jumlah penduduk, tingkat pendapatan, bergesernya selera konsumen dari “red meat” ke “white meat” dan kebutuhan manusia akan makanan sehat (healthy food) serta rasa ketidak amanan manusia untuk mengkonsumsi daging ternak seperti adanya penyakit Mad cow disease, Dioxin dan penyakit mulut dan kuku yang melanda hewan ternak di Eropa dan Amerika memberikan dampak positip pada peningkatan konsumsi ikan.
Peluang ekspor perikanan budidaya
Dari data statistik ekspor perikanan menurut negara tujuan tahun 2000 ke 91 negara, dimana secara keseluruhan dari tahun 1998 sebesar 650.291 ton dengan nilai US$ 1.698.675 meningkat menjadi 703.155 ton dengan nilai US$ 1.739.312 pada tahun 2000. Jumlah ekspor terbesar ditujukan ke jepang (50 %), Amerika (17 %), UE (13 %), Asia (20%) dan ASEAN (10 %). Sedangkan keragaman ekspor komoditi perikanan sebagian masih dalam bentuk utuh beku dan segar dimana sebagian pasar utamanya adalah Jepang (Ditjen Perikanan, 2000). Sedangkan dari data sertifat ekspor 1999 – 2000 (BPPMHP, 2000), hasil perikanan budidaya seperti kerapu, nila, udang dan rumput terjadi peningkatan ekspor pada komoditas ikan nila dan kerapu. Untuk ekspor ikan nila dalam bentuk utuh maupun fillet ditujukan kenegara seperti Amerika, Inggris, Perancis, Jerman, Australia dan Singapura. Peningkatan ekspor pada ikan nila sangatlah meyakinkan di masa mendatang oleh karena daging nila umumnya berwarna putih dan dapat digunakan untuk pengganti produksi filet ikan kakap merah yang sebagai salah satu primadona perdagangan ikan internasional. Dengan demikian ikan nila telah menunjukkan kemantapan dengan perluasan pasar secara cepat di AS dan negara-negara Eropa. Sedangkan pada ikan kerapu ekspornya ditujukan kenegara Amerika, Australia, Hongkong, Taiwan, Inggris, Jepang dan Singapura.
Permintaan udang windu terus meningkat sedikitnya diatas harga US$ 15/ kg. Dilain pihak harga udang putih bergerak naik sekitar US$ 12/kg sedangkan harga udang Pandalus cenderung menurun mendekati US$ 6/kg (Seafood International, 2001). Sedangkan Jepang, Amerika dan Uni Eropa tetap merupakan negara pengimpor udang terbesar. Dilain pihak sumberdaya udang cenderung menurun dan hampir menunjukkan kepunahannya dialam/diperairan umum. Hal ini ditandai munculnya ukuran (size) pada udang-tangkap yang diekspor serta menurunnya jumlah tangkapan udang di laut. Komoditas perikanan yang lain seperti rumput laut merupakan komoditi ekspor yang penting dari Indonesia, akan tetapi di ekspornya masih dalam bentuk bahan mentah yang kemudian di impor kembali dalam bentuk produk jadi. Eksplotasi rumput laut masih terbatas makro algae dimana alga dikonsumsi sebagai bahan makanan tambahan bukan sebagai bahan makanan utama. Konsumsi rumput laut per hari di Jepang adalah 10 gr orang/hari, sedangkan nilai komersial yang penting pada rumput laut adalah asam alginat dan turunannya focoidan dan laminaran untuk alga merah dan untuk alga coklat adalah agar dan carrageenan. Untuk kawasan ASEAN seperti Philipina, industri rumput laut berhasil memasukkan devisa sebesar US$ 670 juta per tahun yang bahan bakunya justru di Impor dari Indonesia. Dengan demikian peluang dan prospek pengembangan budidaya ikan nila, kerapu, udang dan rumput laut cukup besar pasarnya, namun kekewatiran masyarakat terhadap hasil perikanan budidaya juga semakin meningkat.
I.3 TANTANGAN EKSPOR KOMODITI PERIKANAN BUDIDAYA
Dengan adanya era globalisasi maka system perdagangan komoditi perikanan tidak hanya ditentukan oleh faktor “supply and demand” semata-mata, tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai konvensi dan perjanjian internasional yang cenderung mengatur mekanisme perdagangan internasional komoditi perikanan.
Secara umum, masalah utama yang dihadapi dalam pengembangan ekspor komoditi perikanan adalah tarif bea masuk yang dikenakan oleh negara pengimpor sangat bervariasi dari negara dan dari jenis ke jenis. Selain itu issu global seperti issu lingkungan, jaminan keamanan pangan (food safety) dan sebagainya, serta dimasukkannya perjanjian SPS (sanitary and phytosanitary) sebagai salah kesepakatan GATT putaran Uruguay, mempunyai tujuan memperlancar perdagangan hasil pertanian. Akan tetapi pada kenyataannya, dimanfaatkan oleh beberapa negara industri sebagai hambatan teknis (techincal barrier) dalam perdagangan, dengan tujuan untuk menyaring masuknya keomoditas pertanian dari luar.
Masalah lain sebagai tantangan ekspor komoditi perikanan Indonesia adalah adanya sinyalemen tentang kontaminasi ikan salmon oleh senyawa PCB (Polychlorinated biphenyl) dan dioxin yang sangat berbahaya sehingga menimbulkan animo masyarakat terhadap ikan salmon cenderung menurun. Hal ini tentu dapat saja terjadi bagi komdoditi perikanan Indonesia, dimana pencemaran dioksin (racun hayati laut) dari PSP (Paralytic Shellfish Poisoning) juga melanda beberapa perairan Indonesia. Sedangkan masalah GMOs (Genetically Modified Organisms) dan LMOs (Living Modified Organisms) perlu dipertimbangkan, oleh karena berkembangnya rekayasa genetika. Masalah ini sering menjadi batasan import bagi Jepang dan UE. Sebagai contoh sering terjadi pada tuna kaleng yang menggunakan media minyak (kedele) yang berasal dari GMOs banyak yang ditolak oleh 2 negara tersebut.
Beberapa masalah utama yang dihadapi oleh komoditi perikanan budidaya adalah adanya :
1. Bakteri patogen : Salah satu persyaratan yang ditetapkan oleh negara pengimpor maju pada komoditas perikanan adalah bebas dari bakteri patogen. Eropa mempersyaratkan udang beku (kecuali udang rebus beku) harus bebas dari bakteri Salmonella dan beberapa negara lain mempersyaratkan E. coli dan bakteri patogen. Penyebab masuknya bakteri tersebut adalah kurangnya sanitasi dan higiene dalam budidaya, sebagai contoh hasil pengujian BPPMHP (1997) menyebutkan dari kombinasi ikan nila dan ternak ayam (Longyam), positip mengandung Salmonella.
Selain itu, pada komoditi kekerangan, beberapa negara maju memberlakukan syarat yang lebih ketat terhadap masuknya impor kekerangan. Persyaratan yang harus dipenuhi adalah adanya standar sanitasi terhadap perairan untuk budidaya dan pengumpul. Dari hasil monitoring perairan untuk budidaya kerang yang dilakukan BPPMHP (1999), terjadi pencemaran bakteri V. parahaemolyticus diperairan Riau, Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan kandungan bakteri bervariasi 23 - < 1100/gr, sedangkan standar dari UE adalah < 300/100 gr. Menurut Tyoyib et al (1977) beberapa bakteri patogen ditemukan pada kerang Anadara dan Crassostrea yang ditangkap di teluk Jakarta, dimana kerang Anadara ditemukan Salmonella 52,3 %, Shigella 6,3 %, E. coli 8,3 %, Staphilococus 1 % dan V. parahaemolyticus 3 %. Sedangkan Crassostrea mengandung Salmonella 46 %, E. coli 16 %, Staphilococus 37,1 % dan V. parahaemolyticus 5,5 %.
Syarat lain adalah untuk kekerangan yang akan dipasarkan diharuskan melakukan purifikasi (pembersihan). Salah satu metode purifikasi (pembersihan) adalah depurasi, dari hasil uji coba depurasi dengan sinar U.V , selama 48 jam dapat menurunkan ALT dari 106 menjadi 103 serta E. coli < 3 per gr contoh daging kerang (BPPMHP, 1994).
2. Marine biotoxin (racun hayati laut) : Selain mengandung bakteri patogen, beberapa komoditi perikanan dapat tercemar oleh adanya biotoxin. Hal ini disebabkan adanya alga yang mengandung racun PSP (Paralytic Shellfish Poisoning), NSP (Neurotoxic Shellfish Poisoning), DSP (Diarrhetic Shellfish Poisoning), ASP (Amnesic Shellfish Poisoning) dan CFP (Ciguatera Fish Poisoning). Dari hasil monitoring BPPMHP (1999) perairan yang mengandung PSP > 80 Ug/100 gr adalah perairan Lampung dan Ambon. Oleh karena itu perairan tersebut tertutup untuk budidaya dan penangkapan. Sedangkan komoditasnya tidak boleh dijual atau diekspor. Biotoxin PSP, NSP, DSP, ASP umumnya terdapat pada kekerangan. Sedangkan CFP sering terdapat pada ikan-ikan karang seperti kakap, kerapu dsb. Oleh karena itu pada ikan karang dan kekerangan yang akan diekspor, beberapa negara mempersyaratkan komoditas bebas dari dioksin.
3. Hormon, antibiotik, pestisida dan logam berat : Dengan dalih untuk meningkatkan keamanan pangan (food safety) pada produk perikanan yang beredar di pasaran, Eropa telah mengeluarkan peraturan kepada semua negara pengekspor ikan budidaya untuk menyampaikan program pengendalian dan monitoring residu hormon dan antibiotik. Bagi negara yang tidak mematuhi ketentuan tersebut, maka izin ekspor ke UE akan dicabut. Dari hasil monitoring antibiotik yang dilakukan BPPMHP (2000) pada beberapa udang di tambak Jawa dan Lampung, dihasilkan udang positip mengandung antibitoik. Untuk itu perlu upaya pengendalian pengunaan antibiotik adalah dengan memberikan antibiotik (jika diperlukan) pada ikan/udang yang dibudidayakan. Sedangkan penen dapat dilakukan minimal 1 bulan setelah pemberian antibiotik untuk menghindari adanya residu. Untuk residu hormon dan pestisida sampai saat ini belum dilakukan pengujian. Sedangkan untuk logam berat BPPMHP (1999) telah melakukan monitoring dengan hasil logam berat (merquri) pada komoditas perikanan masih dibawah ambang batas (< 0,5 ppm).
4. Kampanye anti udang tambak : Dengan semakin meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap kelestarian lingkungan, beberapa negara maju dan kelompok LSM yang tergabung dalam Global Aquaculture Alliance (GAA) telah mulai mengadakan kampanye anti udang tambak. Hal ini disebabkan karena pembuatan tambak udang dianggap merusak hutan bakau dan menggamggu kelestarian lingkungan. Untuk itu dalam upaya menangkal kampanye anti udang tambak, setiap pengembangan tambak selalu memperhatikan aspek kelestarian lingkungan atau AMDAL
Untuk menghadapi tantangan tersebut, kiat yang harus ditempuh oleh dalam menghadapi pasar global adalah dengan meningkatkan efisiensi mulai dari saat budidaya sampai pemasaran agar harga di pasar lebih kompetitif serta meningkatkan sistem pembinaan mutu (PMMT) yang mengacu pola HACCP yang secara resmi diakui oleh CAC/FAO/WHO.
II.PEMBAHASAN
PRINSIP-PRINSIP PENERAPAN HACCP DI BUDIDAYA
Potensi bahaya (Hazard) dalam budidaya ikan/udang adalah berupa bahaya biologi, kimia dan fisik. Bahaya ini dapat setiap waktu masuk pada ikan/udang yang dibudidayakan dan pada pengolahan, seperti tercemarnya pakan oleh pestisida, tidak tepatnya penggunaan bahan kimia/obat-obatan,tercemarnya lingkungan budidaya oleh bakteri/virus, terjadinya kontaminasi selama pengolahan produk dan lain sebagainya. Hazard yang spesifik pada budidaya udang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Contoh-contoh hazard pada produk budidaya
Kelompok Hazard
Contoh hazard
Biologi
Bakteri patogen
Salmonella, Shigella, E. coli, Vibrio


Cholerae, Vibrio parahaemolyticus,


Aeromonas hydrophilla, Listeria mono


cytogenes dan lain-lain

Parasit/protozoa
Parasit padaTrematoda,Cestoda/


Nematoda ( Clonorchis sinensis,


Anisakis dan lain-lain

Virus
Hepatitis A, Norwalk virus dll

Mycotoxin
Aflatoxin
Kimia
Residu obat
Hormon, antibiotik, pengatur tumbuh

Residu Pestisida
Herbisida, Fungisida, insektisida

Logam berat
Merkuri, cadmium, copper dll
Fisika

Kaca, kayu, rambut dll.
Sumber : FDA, 1998
Tabel 2. Potensi hazard pada beberapa ikan budidaya.
Komoditas
Potensi hazard
Udang tambak
Kimia
Aldrin/dieldrin, benzen hexachlorida, DDT, TDE, DDE, Fluridone, Nikel, Arsen, Cadmium

Obat-obatan
Oxitetracyclin,Tricaine, larutan.forma-lin,sulfamerzin,Sulfadimethoxin
Tilapia/nila
Kimia
Aldrin/dieldrin, benzen hexachlorida, DDT, TDE, DDE, Fluridone, Nikel, Arsen, Cadmium

Obat-obatan
Oxitetracyclin,Tricaine, larutan.forma-lin,sulfamerzin,Sulfadimethoxin
Kakap
Biologi
parasit anisakis, pseudoterranova, eustrongylides

Dioksin
PSP, DSP, NSP, ASP, CFP
Kerapu
Biologi
anisakis, pseudoterranova, eustrong-ylides

Dioksin
PSP, DSP, NSP, ASP, CFP
Sumber : SEAFDEC, 1997
Dari beberapa literatur potensi hazard dari Salmonella dan Vibrio dalam budidaya udang sering terjadi pertentangan. Dimana menurut Reilly and Twiddy (1992) dalam Mahony (1995), Salmonella dan Vibrio hidup pada bagian tumbuhan alam (plangton) di tambak udang. Namun dari penelitian Dalsgaard et al (1995) dalam Mahony (1995) tidak ditemukan secara nyata Salmonella pada udang maupun tambak udang. Sedangkan dari pengujian BPPMHP (1996) Salmonella positip ditemukan pada pakan ayam, kotoran ayam dan ikan yang memakan kotoran ayam. Dengan demikian Salmonella dapat masuk ke dalam udang/ikan yang dibudayakan, disebabkan dari suplai air dan pakan yang terkontaminasi. Beberapa contoh potensi hazard pada ikan/udang budidaya dapat dililhat pada Tabel 2.


Pemilihan lokasi/tempat
¯
suplai air
¯
Air ¾¾¾¾¾¾¾¾¾ Lingkungan pemeliharaan
Pengeloaan ikan/udang ï¾¾® ¯
Kondisi kolam Produksi * *Persoalan penting di produksi :
Obat/bahan kimia ¯ Pengeloaan kolam, pemberian
Panen pakan dan kesehatan udang
¯
Penerimaan
¯
Pengolahan
¯
Penyimpanan
­ ¯
CCP Pengiriman
Gambar 1. Tahapan budidaya secara umum
Dalam proses pengolahan dan pembekuan udang bahan materialnya antara lain terdiri dari udang itu sendiri,es,dan air.Untuk udang perusahaan langsung mendapatkannya dari para petambak udang,dalam proses penerimaan bahan baku tidak semua udang dari petambak diterima oleh perusahaan.Ada persyaratan-persyaratan khusus yang dikeluarkan perusahaan untuk menentukan baik atau buruknya kualitas udang yang dihasilkan antara lain berdasarkan:
a. SNI (Standar Nasional Indonesia) artinya disini SNI tidak hanya berlaku pada tahap pengolahan dari industry saja tetapi juga pada proses pembudidayaan ditambak yang merupakan titik awal (sebagai hulu) dari input industri pengolahan dan pembekuan udang.Adapun SNI (standar Nasional Indonesia) yang diberlakukan pada pembudidayaan dimulai dari kualitas airnya,kualitas benih yang ditebar,kualitas pakan,metode atau cara pemberian pakan,perlengkapan dan peralatan sanitasiyang ada,metode atau cara pemanenan,serta penanganan lebih lanjut sebelum udang tersebut masuk industry.
b. Standar yang ditetapkan oleh perusahaan itu sendiri,disini setiap perusahaan mempunyai standar-standar sendiri dalam menerima bahan baku dari luar,adapun cara yang dilakukan semua industry dalam menerima bahan baku pada umunya yaitu proses sortirasi yaitu proses memilah-milah antara bahan baku yang bagus dengan bahan baku yang jelek berdasarkan pengamatan visual,bau,kekompakan tubuh udang ketika ditekan (organoleptik)
Dari kedua jenis standar yang sudah ditetapkan ,apabila bahan baku udang dari petambak memenuhi maka akan diterima dan sebaliknya bila tidak memenuhi akan direject (ditolak).Pada sanitasi bahan untuk mencegah kontaminasi bahan dari luar,sebaiknya perusahaan atau industry harus memperhatikan:
a. Memilih supplier yang bersertifikat (memilih bahan baku yang baik atau sesuai dengan yang dibutuhkan)
b. Melihat atau memonitoring suplier dalam proses memperoleh atau menghasilkan bahan baku tersebut.
c. Selalu ada tindakan preventif antara lain dengan adanya GMP (Good manufacturing Product) untuk mencegah kontaminasi ulang (Man , Material , Method , Machine).Jika memang terjadi kontaminasi silang maka produk tersebut akan ditahan untuk diproses ulang tetapi sebelumya dilihat dahulu dimana proses yang menyebabkan kontaminasi silang tersebut untuk ditindaklanjuti agar tidak terjadi kesalahan yang sama.
Untuk bahan baku es penting karena mencakup dari prinsip-prinsip sanitasi karena semua produk perikanan banyak bergantung pada es dan air.Es yang berfungsi sebagai pembeku atau pendingin udang umunya ditempatkan pada tempat pengolahan sementara pada industry.Tempat penyimpanan sementara ini dipakai misalnya ketika datangnya bahan baku udang yang waktunya diluar jam kerja perusahaan maka tempat satu-satunya ditampung d itempat penyimpanan sementara yang berpendingin es agar udang tidak rusak kualitasnya.Dalam memperoleh bahan baku es ini ada perusahaan yang memproduksi es sendiri,dalam hal ini kulitas es dapat terpenuhi sesuai keinginan perusahaan itu sendiri,selain itu perusahaan tersebut dalam proses produksi es harus siap dengan es (ice flag) dimana 1 ice flag menghasilkan 5-10 ton/jam.Untuk perusahaan yang memperoleh bahan baku es dari luar dapat memperoleh es dengan kualitas baik dengan cara menetapkan standar baku mutu es yang sesuai dengan ketetapan SNI,selain itu dapat melakukan pengawasan atau monitoring terhadap supplier tentang proses pembutan es yang dihasilkan dengan harapan es yang dihasilkan kualitasnya layak dipakai atau tidak,selain itu dapat dilakukan sortirasi atas semua es yang masuk dari berbagai macam supplier.
Untuk bahan baku air ini juga sangat penting karena berbagai macam proses pencucian baik alat maupun bahan lainnya termasuk udang menggunakan air.Dalam perusahaan air dapat diperoleh dari berbagai macam ada ynag dari PAM dan ada juga yang memperolehnya dari sumur .Adapun 4 macam penggolongan air berdasarkan kualitasnya antara lain:
1. Golongan A,yaitu air yang lansung dapat dikonsumsi tanpa adanya proses pengolahan lebih lanjut.
2. Golongan B,yaitu air jika dikonsumsi harus dilakukan proeses pengolahan lebih lanjut.
3. Golongan C,yaitu air yang bisa digunakan untuk kegitan pertanian ,peternakan ,dan perikanan.
4. Golongan D,yaitu golongan air yang sudah tercemar dari berbagai macam limbah.
Langkah-langkah penerapan HACCP di budidaya yaitu didahului dengan memenuhi kelayakan dasar (pre-requisite) budidaya. Kelayakan dasar ini berisi GCP (Good Culture Practices) yang mengatur kebersihan umum, pembesaran dan penanganan. Kebersihan umum meliputi kebersihan area, pembersihan peralatan sebelum dan sesudah digunakan dan kebersihan gudang penyimpanan. Sedangkan pembesaran dan penanganan meliputi catatat dalam menjaga dan menyediakan : air dan penggunaan air, pakan dan pemberian pakan, penyakit dan pengontrolan penyakit, obat-obatan dan bahan kimia dengan petunjuk penggunaan, waktu dan periode pemberian; teknik pasca panen, pembersihan produk dengan air bersih, temperatur produk, pencegahan kontaminasi selama panen, sortasi, transpotasi serta kelambatan penanganan seminim mungkin. Secara garis besarnya, alur proses budidaya terdiri dari pemilihan lokasi/tempat budidaya, suplai air, pengelolaan lingkungan ikan/udang yang dipelihara, produksi dan panen (Gambar 1).
Pada periode pemeliharaan udang, waktu pemeliharaan selama 3 – 4 bulan. Sedangkan tahapan yang dilakukan meliputi persiapan kolam (pengeringan, pengapuran, pembrantasan predator dan lain-lainnya), pemasukan air, penyediaan benih/benur, pemberian pakan, perawatan udang (antibiotik, bahan kimia dsb), penggantian air secara berkala, panen, sortasi, pengepakan dan transpotasi ke unit pengolahan. Titik-titik kritis (CCP) yang ada pada alur proses terjadi pada waktu pemeliharaan/pembesaran (growing), dimana pekerjaan yang terdapat pada tahap pemeliharaan adalah pengantian air, pengeloaan udang, kondisi kolam dan penggunaan obat/bahan kimia. Hazard yang potensial adalah Salmonella yang disebabkan oleh suplai air, pakan dan pupuk. Untuk itu perlu menguji penyebab hazard tersebut secara berkala, sedangkan tindakan koreksinya adalah dengan mentreatment atau mencegah hazard tersebut masuk kedalam tempat pemeliharaan. Hazard lain selama pembesaran adalah adanya residu antibiotik atau bahan kimia. Untuk itu perlu dilakukan pencegahannya dengan mengisolasi ikan yang tercemar sampai residu tersebut hilang. Sedangkan pada panen dilakukan secara manual dengan memberikan es pada udang-udang yang ditangkap,disortasi dan dipak dalam es, kemudian dikirim ke industri pengolahan. Hazard yang potensial adalah kontaminasi Salmonella dan adanya benda asing (kaca, rambut, kayu dsb). Generic hazard pada budidaya dapat dilihat Tabel 3.

Tabel 3. Generic HACCP untuk produksi udang budidaya
Tahapan produksi
Hazard
Di pantau oleh
Pemilihan lokasi
Kontaminasi kimia
Kelayakan dasar

Kontaminasi biologi

Pembesaran


- Kondisi kolam
Kontaminasi kimia
GMP
- Suplai air
Salmonella
CCP
- Pakan/pupuk
Salmonella
CCP
- Penggunaan bahan

CCP
Kimia/obat-obatan


Panen
Kontaminasi Salmonella
CCP

Kaca, kayu dll
CCP
Sumber : SEAFDEC, 1997
Dengan adanya HACCP pada unit budidaya yang dilaksanakan dengan konsisten, maka bahan baku yang diterima di unit pengolahan, sudah terjamin mutu dan keamanan. Dengan demikian segala tantangan yang menyangkut issu pada pasar internasional dapat diatasi.
PENANGANAN DAN PENGOLAHAN
Dalam penanganan dan pengolahan pasca panen disamping mengantisipasi mutu dan aspek “food safety” maka perlu dikembangkan jenis olahan yang dapat lebih memberikan nilai tambah dengan diversifikasi olahan dari produk primer ke produk sekunder dan produk siap makan (ready to eat).
Dalam PROTEKAN 2004, komoditi unggulan untuk budidaya kedepan adalah kerapu, udang windu, nila dan rumput laut. Komdoditi tersebut merupakan komdoditi yang banyak diminati oleh negara importir. Berdasarkan data yang dihimpun dari sertifikat ekspor komoditi tersebut diolah dalam bentuk utuh segar/beku, fllet beku, ikan hidup dan rumput laut kering (Tabel 4).
Tabel 4. Jenis olahan dan negara importir komoditi kerapu, nila, udang dan rumput laut.
Jenis olahan
Negara tujuan
Volume (ton) tahun 2000
Kerapu hidup
Hongkong, Singapura, Jepang
454,66
Kerapu segar
Taiwan, RRC, Jepang, Singapura, Hongkong, Malaysia
4.374,54
Kerapu beku
USA, Hongkong, Australia, Inggris, Taiwan, Sinagpura
930,65
Fillet kerapu
Taiwan, Jepang, Singapura, Hongkong
165,01
Fillet nila
USA, Inggris, Singapura
70,69
Nila beku
USA, Kanada, Inggris, Bahrain, Jerman, Perancis
484,43
Udang
Eropa, USA, Jepang, Hongkong, Korea, Thailand, Malaysia, Singapura, Belgia, kanada dsb
91.157,59
Rumput laut
Philipina, Jepang, USA Singapura, Hongkong
2.648,71
Sumber : Sertifat ekspor yang diterima BPPMHP.
Sampai saat ini, ekspor komoditi perikanan Indonesia, sebagian besar masih dalam bentuk utuh (bentuk primer) baik keadaan beku, segar atau hidup. Sedangkan disisi lain, permintaan komoditi perikanan yang mempunyai nilai tambah sangat besar terutama kepasaran Jepang, Amerika, Eropa dan China. Produk-produk budidaya yang banyak dikembangkan menjadi produk bernilai tambah masih didominasi oleh komoditas udang seperti bentuk peel devine boiled shrimp, breaded shrimp yang saat ini permintaannya semakin meningkat dari beberapa negara pengimpor seperti USA, Eropa dan Kanada.
Dari ekspor ikan budidaya seperti ikan nila, sampai saat ini baru dikembangkan dalam bentuk fillet dengan syarat bahan baku yang harus dipenuhi maksimal berukuran 600 gr up dalam keadaan hidup. Sedangkan pada pemasaran dalam negeri ikan nila (< 600 gr) banyak dikembangkan produk-produk fish jelly product dari ikan nila seperti dalam bentuk fish ball, breaded, fih roll dan lain sebagainya. Untuk ikan kerapu, selain ekspor dalam keadaan hidup sudah dikembangkan dalam bentuk segar, beku dan fillet..
III. KESIMPULAN
1. Peluang pengembangan bisnis perikanan diperkirakan akan terus membaik seiring dengan meningkatnya permintaan ikan dipasaran internasional, baik disebabkan karena laju pertumbuhan penduduk, peningkatan pendapatan maupun pergeseran pola konsumsi,kebutuhan manusia akan makanan sehat (healthy food) serta rasa ketidak amanan manusia untuk mengkonsumsi daging ternak
2. Pasar domestik cukup kuat, tercatat dari produksi 4,7 juta ton yang dipasarkan dalam negeri sebesar 4 juta ton dan ini masih belum cukup memenuhi kecukupan pangan penduduk akan ikan. Sedangkan dari penangkapan ikan hampir mendakati titik jenuh. Dengan demikian peluang untuk mengembangkan perikanan budidaya masih sangat besar guna memenuhi kebutuhan pasar domestik dan dunia.
3. Perdagangan ekspor komoditi perikanan cenderung semakin kompetitif. Disamping itu, ekspor komoditi perikanan juga dihadapkan pada berbagai hambatan tarif, food safety, issu lingkungan dan lain-lain. Sedangkan hambatan lainnya berkaitan dengan persyaratan mutu dan sanitasi dan gencarnya kampanye anti udang tambak oleh GAA (Global Aquaculture Alliance) dengan anggapan merusak hutan bakau dan kelestarian lingkungan. Untuk itu produksi perikanan budidaya perlu menerapkan system jaminan mutu/food safety (HACCP) yang diwajibkan oleh CAC/FAO/WHO (Codex Alimentarius Commission) dan negara-negara importir. Disamping itu setiap pembuat tambak udang selalu mengikuti kaidah-kaidah AMDAL.
4. Potensi hazard pada budidaya ikan/udang adalah pada tahap pembesaran (growing) seperti adanya Salmonella yang disebabkan oleh suplai air, pakan dan pupuk. Hazard lain adalah adanya residu antibiotik atau bahan kimia. Untuk itu perlu dilakukan pencegahannya dengan mengisolasi ikan yang tercemar sampai residu tersebut hilang. Sedangkan saat panen hazard yang potensial adalah Salmonella dan adanya benda asing (kaca, kayu dsb).
5. Dalam penanganan dan pengolahan pasca panen disamping mengantisipasi mutu dan aspek “food safety” maka perlu dikembangkan jenis olahan yang dapat lebih memberikan nilai tambah dengan diversifikasi olahan dari produk primer ke produk sekunder dan produk siap makan (ready to eat) Sedangkan untuk rumput laut, dengan mempertimbangkan kebutuhan industri dalam negeri terhadap produk akhir rumput laut yang di import, maka perlu dikembangkan industri pengolahan rumput laut (caragenan, agar, alginat dll)
DAFTAR PUSTAKA
Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan, 1994. Uji coba Depurasi, BPPMHP, Direktorat Jenderal Perikanan, Jakarta.
Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan, 1997. Monitoring Salmonella pada ikan-ikan budidaya. BPPMHP, Direktorat Jenderal Perikanan, Jakarta.
Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan, 1999. Monitoring Sanitasi Kekerangan. BPPMHP, Direktorat Jenderal Perikanan, Jakarta.
Direktorat Jenderal Perikanan, 1995. Promosi Peluang Usaha Di Bidang Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta.
Direktorat Jenderal Perikanan, 2000. Statistik Produksi Perikanan Indonesia tahun 1998. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta.
Direktorat Jenderal Perikanan, 2000. Statistik Ekspor Perikanan Indonesia tahun 1998. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta.
Food and Drug Administration, 1998. Fish and Fisheries Products Hazards and Controls guide. Second edition. US-FDA. Rockville.
Kusumastanto, T., 2001. Potensi dan Peluang Industri Kelautan Indonesia. Makalah Seminar Peluang Usaha dan Teknologi Pendukung pada Sektor Kelautan Indonesia 11 Juli 2001. Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia. Jakarta.
Mahony, 1995. HACCP in Aquaculture: Papers Prepared for PAEC/DOF. Seminar on Quality Assurance for Aquaculture Products. Queen Sirikit National Convention Centre, Bangkok.
Southeast Asian Fisheries Development Centre, 1997. Quality Management for Aquacultured Shrimp. SEAFDEC, Changi, Singapore.
Suboko, B., 2001. Kebutuhan Teknologi Pengolahan dan Delivery Bagi Pelaku Usaha Industri Perikanan Di Indonesia. Makalah Seminar Peluang



















Rabu, 12 November 2008

SUMBER KONTAMINASI BAKTERI

PENDAHULUAN
Sudah merupakan sifat alamiah manusia untuk berusaha mengubah lingkungan dengan cara-cara tertentu untuk menghasilkan kondisi yang paling menguntungkan baginya. Salah satu contoh dari usaha ini tercakup dalam ilmu sanitasi (sanitary science).Saniter adalah suatu istilah yang secara tradisional dikaitkan dengan kesehatan terutama kesehatan manusia. Oleh karena kesehatan manusia dapat dipengaruhi oleh semua faktor-faktor dalam lingkungan, maka dalam prakteknya, implikasi saniter meluas hingga kesehatan semua organisme hidup. Sanitasi didefinisikan sebagai pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan atau mengatur faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dalam rantai perpindahan penyakit tersebut.Secara luas ilmu sanitasi adalah penerapan dari prinsip-prinsip tersebut yang akan membantu dalam memperbaiki, mempertahankan atau mengembalikan kesehatan yang baik pada manusia. Untuk mempraktekkan ilmu ini, maka seseorang harus mengubah segala sesuatu dalam lingkungan yang dapat secara langsung atau tidak langsung membahayakan terhadap kehidupan manusia. Dalam arti luas, juga mencakup kesehatan masyarakat (taman, gedung-gedung umum, sekolah , restoran dan lingkungan lainnya). Sanitasi akan membantu melestarikan hubungan ekologik yang seimbang.
Sanitasi pangan merupakan hal terpenting dari semua ilmu sanitasi karena sedemikian banyak lingkungan kita yang baik secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan suplai makanan manusia. Hal ini sudah disadari sejak awal sejarah kehidupan manusia dimana usaha-usaha pengawetan makanan telah dilakukan seperti penggaraman, pengasinan, dan lain-lain. Dalam industri pangan, sanitasi meliputi kegiatan-kegiatan secara aseptik dalam persiapan, pengolahan dan pengkemasan produk pangan; pembersihan dan sanitasi pabrik serta lingkungan pabrik dan kesehatan pekerja. Kegiatan yang berhubungan dengan produk pangan meliputi pengawasan mutu bahan mentah, penyimpanan bahan mentah, penyediaan air baik, pencegahan kontaminasi pada semua tahap pengolahan dari berbagai sumber kontaminasi, serta pengkemasan dan penggudangan produk akhir.Sanitasi harus berhubungan dengan semua segmen lingkungan yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia. Oleh karena itu ilmu sanitasi harus berurusan dengan faktor-faktor fisik, kimia, dan biologik. Secara umum, faktor fisik dan kimia lebih mudah ditangani daripada faktor biologis. Faktor biologis dari lingkungan inilah yang terutama berkaitan erat dengan sanitasi karena organisme hidup akan bereaksi terhadap keadaan fisik dan lingkungan yang berbeda. Oleh karena itu untuk mendalami ilmu sanitasi maka diperlukan pengertian yang baik akan sifat-sifat organisme hidup ini. Selain itu perlu juga dipahami keterkaitan antar faktor yang mempengaruhi kesehatan manusia.
Potensi mikroba untuk merusak pangan dan menimbulkan penyakit pada manusia, organisme lain dan tanaman, berarti bahwa mikrobiologi harus memegang peranan yang sangat penting dalam ilmu sanitasi. Oleh karena itu orang yang berkepentingan dalam sanitasi industri pangan perlu memiliki pengertian dasar tentang mikroorganisme dalam kaitannya dengan manusia dan pengawasan terhadap mikroorganisme dalam lingkungan tertentu.Tapak Jalan Perpindahan Sumber Kontaminasi Pada umumnya kontaminasi pada pangan dapat diamati berdasarkan tapak jalan perpindahan penyakit dari satu sumber ke sumber lainnya. Pada Gambar 1 ini terlihat bahwa perpindahan penyakit dapat berlangsung dari debu, tanah, udara, manusia, bahan makanan, peralatan (alat makan/pengolahan), air, binatang peliharaan dan serangga.
SUMBER KONTAMINASI DALAM INDUSTRI PANGAN
Mikroorganisme yang memegang peranan penting dalam sanitasi pangan adalah terutama mikroorganisme yang dapat menimbulkan penyakit. Penyakit yang ditimbulkan melalui makanan dapat dikelompokkan dalam dua jenis. Jenis yang pertama adalah keracunan makanan akibat toksin yang diproduksi oleh mikroba. Dalam hal ini, mikroba yang tumbuh akan memproduksi senyawa yang bersifat larut dan beracun yang dikeluarkan ke dalam makanan dan menyebabkan penyakit, bila makanan tersebut dikonsumsi. Dalam keracunan makanan akibat toksin ini, mikrobanya tidak perlu tertelan untuk menghasilkan penyakit, cukup toksinnya saja. Jenis keracunan ini disebut juga intoksikasi. Mikroorganisme yang menimbulkan jenis keracunan makanan seperti ini antara lain adalah Staphylococcus aureus, Clostridium botulinum, C. perfringens, Bacillus cereus, dan Vibrio parahaemolyticus. Wabah keracunan yang terjadi seringkali melibatkan makanan yang berasal dari hewani seperti daging unggas, telur, daging, hasil laut, dan produk-produk susu.
Jenis keracunan makanan yang kedua adalah infeksi makanan, yaitu masuknya mikroba ke dalam alat pencernaan manusia. Disini mikroba tersebut akan tumbuh, berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Dalam infeksi seperti ini toksin juga diproduksi ketika organismenya sedang tumbuh, tetapi gejala penyakit yang utama bukan dihasilkan oleh adanya senyawa toksin dalam makanan ketika dikonsumsi melainkan oleh mikrobanya sendiri. Oleh karena itu, penyembuhan penyakit infeksi ini membutuhkan pengobatan yang ditujukan untuk menghilangkan mikrobanya dari dalam tubuh. Mikroba yang menimbulkan infeksi melalui makanan antara lain adalah Brucella sp., E.coli, Salmonella sp., Shigella sp., Streptococcus grup A, Vibrio cholerae dan virus hepatitis A.
Pekerja
Pekerja yang menangani pangan dalam suatu industri pangan merupakan sumber kontaminasi yang penting, karena kandungan mikroba patogen pada manusia dapat menimbulkan penyakit yang ditularkan melalui makanan.Manusia yang sehat merupakan sumber potensial mikroba-mikroba seperti Staphylococcus aureus, baik koagulase positif maupun koagulase negatif; Salmonella, Clostridium perfringens dan streptokoki (enterokoki) dari kotoran (tinja). Stafilokoki umum terdapat dalam kulit, hidung, mulut dan tenggorokan, serta dapat dengan mudah dipindahkan ke dalam makanan.
Sumber kontaminasi potensial ini terdapat selama jam kerja dari para pekerja yang menangani makanan. Setiap kali tangan pekerja mengadakan kontak dengan bagian-bagian tubuh yang mengandung stafilokoki, maka tangan tersebut akan terkontaminasi, dan segera akan mengkontaminasi makanan yang tersentuh. Perpindahan langsung mikroba koki ini dari alat pernafasan ke makanan, terjadi ketika pekerja batuk dan berbangkis tanpa menutupi hidung dan mulutnya. Tangan dengan luka atau memar yang terinfeksi merupakan sumber stafilokoki virulen, demikian pula luka yang terinfeksi pada bagian tubuh lain, karena mungkin pekerja tersebut menggaruk atau menyentuh luka tersebut.
Organisme yang berasal dari alat pencernaan dapat melekat pada tangan pekerja yang mengunjungi kamar kecil dan tidak mencuci tangannya dengan baik sebelum kembali bekerja. Mikroba patogen yang berasal dari alat pencernaan yang mampu menimbulkan penyakit melalui makanan adalah : Salmonella, Streptokoki fekal, Clostridium perfringens, EEC (Enteropathogenic Escherichia coli) dan Shigella.
Kebiasaan tangan (hand habits) dari pekerja pengelola pangan mempunyai andil yang besar dalam peluang melakukan perpindahan kontaminan dari manusia ke makanan. Kebiasaan tangan ini dikaitkan dengan pergerakan-pergerakan tangan yang tidak disadari seperti menggaruk kulit, menggosok hidung, merapikan rambut, menyentuh atau meraba pakaian dan hal-hal lain yang serupa.
Kulit
Kulit manusia tidak pernah bebas dari bakteri; bahkan kulit yang bersihpun masih membawa bakteri. Akan tetapi, bila kulit tidak bersih, maka jumlah dan macam mikroorganisme yang terdapat lebih nyata lagi, termasuk bakteri, kapang, kamir, dan protozoa. Oleh karena orang menggunakan tangan dengan tujuan yang berbeda-beda, maka mereka menyentuh banyak sekali benda-benda dan memperoleh populasi mikroba dari hampir semua benda yang disentuhnya. Dalam populasi mikroba ini terdapat pula mikroba patogen yang mampu menimbulkan berbagai penyakit perut (gastroenteritis) melalui makanan.Bakteri yang menempel pada kulit dapat berkembang biak, terutama didekat kelenjar lemak. Walaupun pencucian akan menghilangkan banyak bakteri dari kulit, tetapi beberapa mikroba masih tetap tertinggal.
Flora bakteri yang umum terdapat pada kulit manusia adalah : Staphylococcus epidermidis (non patogenik) dan S.aureus. bakteri yang terakhir ini dapat berkembang biak dalam makanan dan membentuk toksin yang dapat menimbulkan keracunan makanan (intoksikasi). Disamping kedua bakteri di atas terdapat pula mikrokoki dan bakteri anaerobik.Diduga separuh dari populasi manusia yang normal dan sehat membawa stafilokoki virulen atau virulen kuat. Stafilokoki umumnya terdapat pada bisul, jerawat, luka dan kulit yang memar. Beberapa galur (strain) piogenik dari S.aureus dapat menyebabkan berbagai jenis infeksi kulit. Ketahanan tubuh terhadap stafilokoki bervariasi dengan sifat virulen dari organisme dan dari jaringan yang diserang.
Mulut, Hidung, Tenggorokan, Mata dan Telinga
Daerah-daerah mulut, hidung dan tenggorokan dari manusia normal penuh dengan mikroba dari berbagai jenis. Lingkungannya basah dan hangat dan zat-zat nutrien tersedia dalam bentuk sisa-sisa makanan yang dikonsumsi oleh manusia. Dari beberapa mikroba yang ada, salah satunya adalah Staphylococcus aureus yang berada dalam saluran pernafasan dari manusia sehat. Galur organisme yang virulen terdapat pada penyakit seperti radang hidung dan influenza. Orang yang baru sembuh dari penyakit ini dapat menjadi “carrier” untuk waktu yang lama. S. aureus juga sering dihubungkan dengan infeksi mata dan telinga.
Infeksi bakteri pada mulut dan tenggorokan lain yang penting adalah usobacterium fusiforme, spirochetes yang dapat dipindahkan lewat makanan. Corynebacterium diphteriae adalah patogen yang menyebabkan difteri dan dapat ditularkan melalui makanan. Difteri dahulu pernah merupakan penyakit komunikasi yang paling ditakuti. Bakteri ini menyebabkan radang berat pada tenggorokan dan bagian lain dari alat pernafasan bagian atas. Organ vital lain terutama jantung dan ginjal, diracuni oleh suatu toksin yang sangat kuat yang disekresikan oleh sel-sel bakteri.
Bakteri patogen yang dihubungkan dengan penyakit tenggorokan dan paru-paru juga dapat dipindahkan melalui makanan. Penyakit-penyakit spesifik pada paru-paru terutama adalah TBC, dan pneumonia (Diplococcus pneumoniae). Organisme lain yang terlibat dalam pneumonia adalah Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumoniae, Streptococcus pyogenes, dan virus.
Orang yang menderita infeksi pernafasan, mata dan telinga, atau carrier yang sedang atau setelah sembuh dari penyakit-penyakit ini, harus dicurigai merupakan sumber yang kaya akan stafilokoki virulen dan harus dicegah menangani makanan.Orang yang menderita atau baru sembuh dari penyakit-penyakit yang serius seperti TBC, demam skarlet, radang tenggorokan, dan difteri, dapat mengkontaminasi makanan bila diizinkan menanganinya.
Alat Pencernaan
Komposisi flora pencernaan dari tubuh manusia sehat dapat bervariasi dengan faktor eksternal tertentu. Bagian pertama dari usus kecil, seperti perut, tidak mempunyai flora mikroba alamiah. Dalam jejunum dan ileum, mikroba baru terdapat. Pada bagian ujung bawah dari usus kecil diketemukan bermacam-macam bakteri dalam jumlah banyak. Mikroba utama yang terdapat adalah koliform, Eschericia coli dan Aerobacter aerogenes. Bakteri penting yang berkaitan dengan penyakit yang ditularkan lewat makanan adalah Clostridium perfringens, streptokoki fekal, Salmonella, dan kadang-kadang stafilokoki. Salmonella terutama sangat banyak terdapat dalam alat pencernaan orang yang baru sembuh dari salmonelosis.Bakteri patogen yang berasal dari pencernaan mempunyai kesempatan yang baik untuk mengkontaminasi makanan bila terkena tangan yang terkontaminasi. Pekerja yang menangani pangan dapat memindahkan bakteri patogen ke bumbu-bumbu dan bahan pangan bila mereka tidak mencuci tangannya setelah mengunjungi kamar kecil. Bakteri patogen penting dari alat pencernaan dapat menyebabkan kolera, disentri basiler, demam tifus, dan hepatitis.
Organisme penyebab kolera adalah Vibrio cholerae yang dapat dipindahkan melalui makanan dan air, menginfeksi alat pencernaan manusia. Kolera adalah penyakit dengan gejala-gejala muntah-muntah, diare, dan pasien seringkali meninggal karena dehidrasi yang hebat.Shigellae sering dipindahkan melalui makanan. Disentri basiler atau shigelosis dapat disebabkan oleh spesies Shigellae dysenteriae, S.boydii, S.sonnei dan S.flexneri. Penyakit ini adalah suatu infeksi akut dari usus menyebabkan diare dan kotoran berdarah yang mengandung mukus. Waktu inkubasi biasanya kurang dari 4 hari, tetapi dapat pula selama 7 hari. Gejala : demam dan kejang. Organisme ini dipindahkan dengan cara yang sama seperti Salmonella. Dari ketiga spesies Shigella adalah S.dysenteriae satu-satunya yang mampu menghasilkan eksotoksin, tetapi kurang lazim terdapat dibandingkan dengan kedua spesies lain.
Perpindahan biasanya melalui makanan dan air yang telah terkontaminasi dengan kotoran, dan pekerja berperanan penting dalam pemindahannya. Setiap benda yang terkontaminasi oleh pekerja ini, selanjutnya akan memindahkan patogen bila terkena konta
LINGKUNGAN
Air Buangan
Komposisi air buangan terdiri dari kotoran manusia, buangan air cucian, air mandi dan residu yang berasal dari sampah, kebanyakan benda-benda yang berasal dari sayuran dan limbah-limbah sejenis.
Flora air terdiri dari bakteri aerob, anaerob dan fakultatif anaerob. Bakteri terdiri dari bakteri tanah dan alat pencernaan manusia. Contohnya streptokoki fekal, Clostridium perfringens, Salmonella, Shigella, mikrokoki, Pseudomonadaceae, dan Lactobacillaceae. Disamping itu terdapat juga virus, kamir, kapang, organisme yang menyerupai ganggang, dan pembentuk lendir. Organisme ini juga membantu pemecahan benda-benda organik dalam air buangan. Dengan demikian air buangan merupakan sumber patogen manusia yang potensial terutama yang berasal dari pencernaan (usus). Air buangan memegang peranan yang paling penting dalam mengkontaminasi air dan makanan.
Bila air buangan digunakan untuk menyuburkan tanaman, maka tanaman akan terkontaminasi. Demikian pula bila air buangan ini dialirkan ke sungai, danau atau laut, akan mengkontaminasi flora mikroba termasuk patogen pada ikan, kerang, dan hasil laut lain. Apabila air buangan tidak diberi perlakuan terlebih dahulu, maka mikroorganisme akan segera memecah oksigen air dan aseptor hidrogen lain, sehingga proses anaerobik menghasilkan bau busuk dan membuat kondisi untuk kehidupan biologis alamiah dari air menjadi terganggu serta mencemari lingkungan dengan bau yang tidak enak.
Tanah
Tanah mengandung mikroba yang sangat besar baik jumlah maupun jenisnya. Mikroba dari tanah mempengaruhi flora mikroba dari udara, air, tanaman dan hewan. Sebaliknya, tanah dapat terkontaminasi oleh air buangan. Semua mikroorganisme penting yang berhubungan dengan penyakit-penyakit yang ditularkan lewat makanan dapat berasal dari tanah. Bakteri penyebab penyakit melalui makanan yang terdapat dalam tanah secara alamiah adalah Clostridium botulinum dan C. perfringens.
Tanah dapat masuk ke daerah persiapan/pengolahan makanan dan penyimpanan makanan dengan berbagai cara: melalui bahan makanan, pembungkusnya, pakaian dan sepatu pekerja, dan udara (debu).
Kontaminan Lain
Kontaminan nonmikroba adalah yang berasal dari buangan rumah tangga seperti deterjen, berbagai jenis buangan industri dan produk-produk yang digunakan dalam pertanian seperti pestisida dan pupuk mineral. Sebagian dari kontaminan berbahaya, sehingga perlu diberi perlakuan, kalau tidak akan mengkontaminasi air minum.Pestisida dapat sampai ke dalam sumur, pancuran, dan danau melalui aliran air, atau melalui perkolasi tanah secara sedikit demi sedikit. Beberapa dari senyawa-senyawa ini sangat stabil dan tidak terpecah atau hilang. Dan mungkin tidak terpisahkan secara sempurna dari air, pada waktu pemurniannya untuk air minum. Adanya pestisida dalam air mengakibatkan beberapa jenis ikan mati. Pada manusia, pengaruh pestisida diduga memberikan efek peracun jangka panjang.Penggunaan pupuk N pada tanaman akan menyebabkan tingginya kandungan nitrat dalam air. Bahaya konsentrasi nitrat yang tinggi dalam air minum adalah konversi nitrat menjadi nitrit dalam alat pencernaan oleh bakteri usus tertentu. Nitrit ini terutama dapat menyebabkan keracunan nitrit pada bayi yang mengakibatkan terjadinya methemoglobinemia.
Udara
Udara tidak mempunyai flora mikroba alamiah, tetapi partikel-partikel debu atau tetesan air yang terdapat dalam udara dapat membawa mikroba. Udara dapat bertindak sebagai tempat persediaan kontaminan. Jenis dan jumlah mikroba yang ada dalam udara sangat bervariasi tergantung lokasi dan musim. Hujan dan salju dapat menghilangkan organisme dalam udara. Pada puncak-puncak gunung, kandungan mikroba dalam udara umumnya rendah.
Kondisi udara di daerah persiapan pangan tergantung banyak faktor : adanya debu, tetesan air, dan pergerakkan udara yang terbawa oleh gerakan angin dari ventilasi atau manusia yang bergerak. Tetesan air dari orang yang berbicara, batuk, dan bersin dapat memberi mikroba dalam udara. Tanah pada sepatu dan pakaian, dan dari benda-benda yang diangkut ke dalam ruangan merupakan sumber mikroba yang dapat dipindahkan ke dalam udara. Penyakit-penyakit yang khas yang dipindahkan melalui udara adalah influenza, dan penyakit-penyakit pernafasan lain yang disebarkan melalui percikan-percikan yang dikeluarkan oleh orang yang terkena penyakit tersebut. Telah diketahui bahwa bakteri dapat disebarkan melalui batuk dan bersin dalam jarak yang cukup jauh, hingga 4.5 m.
Bahan Pangan
Produk hewani yang merupakan sumber kontaminasi penting dalam menimbulkan penyakit adalah daging dan produk unggas. Mikroba yang mengkontaminasi adalah Salmonella, Clostridium perfrigens, streptokoki fekal, dan Staphylococcus aureus.Penanganan daging mentah seperti pemotongan, pencincangan, pengirisan, dan pengilingan dapat mengkontaminasi tangan pekerja, pakaian, permukaan-permukaan dan peralatan yang digunakan dengan flora daging. Kontaminan pada alat pemotong terdapat bakteri Salmonella, enterokoki, dan Clostridium perfrigens. Demikian pula kontaminan terdapat pada alat penggiling, alat pemotong dan alat-alat serupa, yang kemudian akan dapat menularkan kontaminan pada bahan lain yang menggunakan peralatan yang sama.Bahan pangan nabati walaupun dicuci dahulu sebelum disimpan, cenderung terkontaminasi oleh patogen yang mampu menyebabkan penyakit. Daun selada dan seledri dapat merupakan sumber bakteri dari tanah.
Dinding, Lantai, Langit-langit
Lantai yang licin dan dikontruksi dengan tepat, mudah dibersihkan, sedangkan lantai yang kasar dan dapat menyerap, sulit dibersihkan. Lantai yang terkena limbah cairan dari ketel pemasak dan tidak ditiriskan dengan baik, dapat merupakan tempat penyediaan makanan bagi bakteri dan serangga. Dinding dan langit-langit yang kasar dapat membawa bakteri seperti Staphylococcus aureus.Lantai, dinding dan langit-langit yang kontruksinya buruk, tidak mungkin untuk dijaga sanitasinya. Akan tetapi struktur yang licin pun merupakan sumber kontaminan yang tidak diinginkan jika tidak dibersihkan dan dipelihara secara teratur dan efektif.
Keracunan makanan yang terjadi di masyarakat sampai menelan korban jiwa, Kita perlu mewaspadai makanan yang mengandung bakteri patogen dan zat-zat beracun yangdijual dan beredar di pasaran.Makanan termasuk kebutuhan dasar terpenting dan sangat esensial dalam kehidupan manusia. Salah satu ciri makanan yang baik adalah aman untuk dikonsumsi. Jaminan akan keamanan pangan merupakan hak asasi konsumen.Makanan yang menarik, nikmat, dan tinggi gizinya, akan menjadi tidak berarti sama sekali jika tak aman untuk dikonsumsi. Menurut Undang-Undang No.7 tahun 1996, keamanan pangan didefinisikan sebagai suatu kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.Makanan yang aman adalah yang tidak tercemar, tidak mengandung mikroorganisme atau bakteri dan bahan kimia berbahaya, telah diolah dengan tata cara yang benar sehingga sifat dan zat gizinya tidak rusak, serta tidak bertentangan dengan kesehatan manusia. Karena itu, kualitas makanan, baik secara bakteniologi, kimia, dan fisik, harus selalu diperhatikan. Kualitas dari produk pangan untuk konsumsi manusia pada dasarnya dipengaruhi oleh mikroorganisme.
Pertumbuhan mikroorganisme dalam makanan memegang peran penting dalam pembentukan senyawa yang memproduksi bau tidak enak dan menyebabkan makanan menjadi tak layak makan. Beberapa mikroorganisme yang mengontaminasi makanan dapat menimbulkan bahaya bagi yang mengonsumsinya. Kondisi tersebut dinamakan keracunan makanan.



ISI
Infeksi dan Keracunan
Menurut Volk (1989), foodborne diseases yang disebabkan oleh organisme dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu infeksi makanan dan keracunan makanan. Infeksi makanan terjadi karena konsumsi makanan mengandung organisme hidup yang mampu bersporulasi di dalam usus, yang menimbulkan penyakit. Organisme penting yang menimbulkan infeksi makanan meliputi Clostridium perfringens, Vibrio parahaemolyticus, dan sejumlah Salmonella.Sebaliknya, keracunan makanan tidak disebabkan tertelannya organisme hidup, melainkan akibat masuknya toksin atau substansi beracun yang disekresi ke dalam makanan. Organisme penghasil toksin tersebut mungkin mati setelah pembentukan toksin dalam makanan. Organisme yang menyebabkan keracunan makanan meliputi Staphylococcus aureus, Clostridium botulinum, dan Bacillus cereus.Semua bakteri yang tumbuh pada makanan bersifat heterotropik, yaitu membutuhkan zat organik untuk pertumbuhannya. Dalam metabolismenya, bakteri heterotropik menggunakan protein, karbohidrat, lemak, dan komponen makanan lainnya sebagai sumber karbon dan energi untuk pertumbuhannya.
Kandungan air dalam bahan makanan memengaruhi daya tahan bahan makanan terhadap serangan mikroba. Kandungan air tersebut dinyatakan dengan istilah aw (water activity), yaitu jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya.Setiap mikroorganisme mempunyai aw, minimum agar dapat tumbuh dengan baik, misalnya bakteri pada aw 0,90, khamir aw 0,80-0,90, serta kapang pada aw 0,60-0,70. Air bebas adalah air yang secara fisik terikat dalam jaringan matriks bahan pangan seperti membran kapiler, serat, dan lain-lain.Lebih dari 90 persen terjadinya foodborne diseases pada manusia disebabkan kontaminasi mikrobiologi, yaitu meliputi penyakit tifus, disentri bakteri atau amuba, botulism dan intoksikasi bakteri lainnya, serta hepatitis A dan trichinellosis. WHO mendefinisikan foodborne diseases sebagai penyakit yang umumnya bersifat infeksi atau racun yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan yang dicerna.

Bakteri Patogen
Terdapat banyak bakteri patogen yang membahayakan kesehatan manusia. Berikut ini beberapa di antaranya.

1. Escherichia coli
E. coli merupakan mikroflora alami yang terdapat pada saluran pencernaan manusia dan hewan. Beberapa galur E. coli yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia adalah enterotoksigenik, enterohaemorrhagik, enteropatogenik, enteroinuasiue, dan enteroagregatif. Enterotoksigenik E. coli merupakan penyebab diare pada wisatawan yang mengunjungi negara yang standar higienitas makanan dan air minum berbeda dari negara asalnya.Enterohaemorrhagic E. coli 0157:H7 akhir-akhir ini diketahui merupakan bakteri patogen penyebab foodborne diseases. Kontaminasi enterohaemorrhagic E. Coli 0157:H7 yang banyak ditemukan pada sayuran dapat terjadi akibat penggunaan kotoran sapi sebagai pupuk.

2. Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus terdapat pada rongga hidung, kulit, tenggorokan, dan saluran pencernaan manusia dan hewan. Bahan makanan yang disiapkan menggunakan tangan, seperti penyiapan sayuran mentah untuk salad, berpotensi terkontaminasi S. aureus.Jenis makanan lain yang sering terkontaminasi oleh S. aureus adalah daging dan produk daging, ayam, telur, salad (telur, tuna, ayam, kentang, dan makaroni), produk bakeri, pastry, pai, sandwich, serta susu dan produk susu. Keracunan oleh S. aureus diakibatkan oleh enterotoksin yang tahan panas yang dihasilkan oleh bakteri tersebut.

3. Salmonella
Salmonella bersifat patogen pada manusia dan hewan lainnya, dan dapat menyebabkan demam enterik dan gastroentritis. Diketahui terdapat 200 jenis dari 2.300 serotip Salmonella yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia.

4. Shigella
Shigella merupakan bakteri patogen di usus manusia dan primata penyebab shigella (disentri basher). Makanan yang sering terkontaminasi Shigella adalah salad, sayuran segar (mentah), susu dan produk susu, serta air yang terkontaminasi.Sayuran segar yang tumbuh pada tanah terpolusi dapat menjadi faktor penyebab penyakit, seperti disentri basher atau shigellosis yang disebabkan oleh Shigella. Menurut USFDA (1999), diperkirakan 300.000 kasus shigellosis terjadi di Amerika Serikat setiap tahun.

5. Vibrio cholerae
Sebagian besar genus Vibrio ditemukan di perairan air tawar atau air laut, serta merupakan bakteri patogen dalam budi daya ikan dan udang. Spesies Vibrio yang termasuk patogen adalah V. cholerae, V. parahaemolyticus, dan V. vulvinicus. Spesies V. chloreae dan V. parahaemolyticus merupakan sumber kontaminasi silang antara buah dan sayuran mentah, sedangkan V. vulvinicus penyebab infeksi pada manusia.

6. Clostridium botulinum
Clostiridium botulinum merupakan bahaya utama pada makanan kaleng karena dapat menyebabkan keracunan botulinin. Tanda-tanda keracunan botulinin antara lain tenggorokan kaku, mata berkunang-kunang, dan kejang-kejang yang menyebabkan kematian karena sukar bernapas. Biasanya bakteri ini tumbuh pada makanan kaleng yang tidak sempurna pengolahannya atau pada kaleng yang bocor, sehingga makanan di dalamnya terkontaminasi udara dari luar.Botulinin merupakan sebuah molekul protein dengan daya keracunan yang sangat kuat. Satu mikrogram botulinin sudah cukup mematikan manusia. Untungnya karena merupakan protein, botulinin bersifat termolabil dan dapat diinaktifkan dengan pemanasan pada suhu 80 derajat Celsius selama 30 menit. Garam dengan konsentrasi 8 persen atau lebih serta pH 4,5 atau kurang dapat menghambat pertumbuhan C. botulinum, sehingga produksi botulinin dapat dicegah.

7. Pseudomonas cocovenenans
Senyawa beracun yang dapat diproduksi oleh Pseudomonas cocovenenans adalah toksoflavin dan asam bongkrek. Kedua senyawa beracun tersebut diproduksi di dalam tempe bongkrek, suatu tempe yang dibuat dengan bahan baku utama ampas kelapa.Asam bongkrek bersifat sangat fatal dan biasanya merupakan penyebab kematian. Hal ini disebabkan toksin mengganggu metabolisme glikogen dengan memobilisasi glikogen dari hati, sehingga terjadi hiperglikemia yang kemudian berubah menjadi hipoglikemia. Penderita hipoglikemia biasanya meninggal empat hari setelah mengonsumsi tempe bongkrek yang beracun.

8.Kapang dan khamir
Kapang dapat menyebabkan kerusakan pada berbagai macam makanan dalam kondisi aw, pH, dan suhu rendah. Jenis kapang yang dapat merusak makanan di antaranya Aspergillus, Penicillium, Botrytis, Alternaria, dan Mucor.Kerusakan sayuran kebanyakan disebabkan kapang seperti Alternaria, Botrytis, dan Phytophtora, atau bakteri yang berasal dari genus Erwinia. Senyawa beracun yang diproduksi oleh kapang disebut mikotoksin.Khamir umumnya diklasifikasi berdasarkan sifat-sifat fisiologisnya, dan tidak ada perbedaan morfologi seperti halnya pada kapang. Buah-buahan dan sayuran segar mengandung bermacam-macam flora mikroorganisme, di antaranya kapang dan khamir (oksidatif, fermentatif, dan nonfermentatif).Kapang dan khamir dapat terbawa melalui tanah, permukaan tanaman, permukaan daun, hujan, insekta, dan lain-lain. Khamir selain menguntungkan juga menyebabkan kerusakan pada makanan, yaitu pada sauerkraut.

.Pencucian, Desinfeksi dan Pemblansiran

Berbagai tindakan preventif mutlak dilakukan untuk meminimalkan terjadinya foodborne diseases. Namun, pencegahan yang dilakukan tidak perlu dengan menghindari produk yang potensial tercemar mikroba karena produk pangan tersebut merupakan salah satu sumber asupan gizi yang diperlukan tubuh kita.Untuk produk pangan segar, pencucian dapat menurunkan potensi bahaya akibat mikroorganisme. Pencucian atau pembilasan sayuran dapat menghilangkan kotoran dan kontaminan lainnya. Pencucian dapat dilakukan dengan air, deterjen, larutan bakterisidal seperti klorin, dan lain-lain.
Air merupakan media untuk pencucian bahan makanan dan peralatan pengolahan. Air yang dipakai untuk mencuci harus bebas dari mikroba patogen atau mikroba penyebab kebusukan makanan. Beberapa penyakit yang dapat disebarkan melalui air adalah kolera, tifus, paratifus, disentri basiler, serta disentri amuba.Desinfeksi adalah tindakan yang bertujuan untuk membunuh mikroba patogen maupun pembusuk dengan menggunakan bahan kimia (desinfektan). Desinfektan merupakan bahan kimia yang mampu membunuh bakteri pembusuk dalam bentuk sel vegetatif, tetapi tidak dalam bentuk spora.

Klorin termasuk desinfektan golongan halogen. Cara kerjanya mengoksidasi grup sulfidril bebas. Klorin yang digunakan dapat berupa gas, bubuk, cairan, atau tablet. Klorin merupakan jenis sanitaiser yang banyak digunakan dan residu klorin mudah diukur, serta pelaksanaan klorinasi air lebih mudah. Klorin banyak digunakan untuk membunuh patogen, mengontrol mikroorganisme pengganggu, mengoksidasi, serta menghilangkan bau, rasa, dan amonia.Konsentrasi klorin yang umum digunakan untuk desinfeksi berkisar antara 50-200 ppm, dengan waktu kontak 1-2 menit. Di Amerika, maksimum 200 ppm C102 diizinkan untuk sanitasi buah dan sayuran. C102 digunakan untuk pencucian buah dan sayuran segar utuh dengan konsentrasi 5 ppm, dan untuk kentang yang dikupas konsentrasi maksimum yang diizinkan adalah 1 ppm.
Pemblansiran merupakan cara lain yang dapat digunakan untuk membunuh mikroba patogen. Blansir adalah suatu cara perlakuan panas pada bahan dengan cara pencelupan ke dalam air panas atau pemberian uap panas pada suhu sekitar 82-93 derajat Celsius. Waktu blansir bervariasi antara 1-11 menit tergantung dari macam bahan, ukuran, dan derajat kematangan.Blansir merupakan pemanasan pendahuluan bahan pangan yang biasanya dilakukan untuk makanan sebelum dikalengkan, dibekukan, atau dikeringkan. Maksudnya untuk menghambat atau mencegah aktivitas enzim dan mikroorganisme.

Enzim dan mikroorganisme sering menimbulkan perubahan-perubahan yang tidak dikehendaki pada bahan pangan, seperti pencokelatan enzimatis, perubahan flavor, dan terjadinya pembusukan. Blansir akan menginaktifkan enzim, baik oksidasi maupun hidrolisis, serta menurunkan jumlah mikroba pada bahan. Lamanya proses blansir dipengaruhi beberapa faktor, seperti ukuran bahan, suhu, serta medium blansir.
Pencegahan kontaminasi mikroba juga dapat dilakukan dengan penyimpanan bahan pangan dengan baik. Bahan baku segar seperti sayuran, daging, susu sebaiknya disimpan dalam lemari pendingin. Proses pemasakan juga dapat membunuh mikroba yang bersifat patogen.Penyajian pasca pemasakan juga tidak boleh luput dari perhatian. Sebaiknya makanan yang telah melalui proses pemasakan langsung dikonsumsi. Sebagian besar kasus foodborne diseases di Indonesia diakibatkan oleh penanganan pasca pemasakan yang tidak sempurna, seperti penyimpanan yang terlalu lama.Untuk produk pangan yang dikalengkan, sebaiknya perhatikan keadaan kaleng. Jangan mengonsumsi makanan dari kaleng yang sudah rusak atau berbau asam. Selain itu, tanggal kedaluwarsa juga mutlak diperhatikan.

Kerusakan Produk Makanan Kaleng

Satu hal yang perlu mendapat perhatian untuk produk kemasan adalah proses yang, tidak sempurna dan kerusakan kemasan selama distribusi maupun penyimpanan. Hal itu sangat membahayakan karena patensial jadi tempat tumbuhnya mikroba patogen yang mematikan, salah satunya Clostiridium botulinum.Ciri-ciri makanan kalengg yang telah rusak, yaitu flipper, springer, soft swell, dan hard swell. Flipper dapat dicirikan permukaan kaleng kelihatan datar, tetapi bila salah satu ujung kaleng ditekan, ujung lainnya akan menjadi cembung.Springer dapat dicirikan dari salah satu ujung kaleng sudah cembung secara permanen. Bila ditekan, cembung akan bergerak ke arah yang berlawanan.Soft swell dicirikan dengan kedua ujung kaleng sudah cembung, tetapi belum begitu keras sehingga masih bisa ditekan sedikit ke dalam. Hard swell dicirikan dengan kedua ujung permukaan kaleng cembung dan sangat keras, sehingga tidak bisa ditekan ke dalam oleh ibu jari.

Selain itu, masih ada flat sour, yakni permukaan kaleng tetap datar tetapi produknya sudah berbau asam yang menusuk. Hal itu disebabkan oleh aktivitas spora bakteri tahan panas yang tidak hancur selama proses sterilisasi.Berdasarkan tingkat keasaman produk, makanan kaleng terbagi atas makanan kaleng berasam rendah dan makanan kaleng berasam tinggi. Makanan kaleng berasam rendah memilik pH lebih dari 4,6. Produk pangan yang dikalengkan dengan kondisi tersebut adalah daging, seafood, susu, dan sayuran seperti asparagus, jagung, dan kacang hijau. Makanan kaleng berasam tinggi memiliki pH 4,6 atau kurang. Produk pangan yang dikalengkan dengan kondisi tersebut adalah buah-buahan dan sauerkraut.Kerusakan Makanan kaleng berasam berasam rendah dapat terdiri dari kebusukan flat sour {asama tanpa gas), kebusukan termofilik anaerobik dengan pengembungan kaleng dan kebusukan sulfida. Kebusukan flat sour disebabkan bakteri Bacillus stearothermophillus yang menyebabkan pH produk menurun.Kebusukan termofilik anaerobik disebabkan bakterl Clostiridium thermosaccharolyticum banyak memproduksi gas hidrogen dan CO2. Kebusukan ini menyebabkan produk pangan berbau keju dan kaleng terlibat kembung, kadang-kadang dapat meledak jika pengembungan sangat kuat.

Kebusukan sulfida disebabkan bakteri anaerob pembentuk spora termofilik obligat, yaitu Desulfotomaculum nigrificans yang memproduksi H2S. Kebusukan ini menyebabkan kaleng tidak terlihat kembung, tetapi produk berwarna gelap dan berbau seperti telur busuk.Kerusakan makanan kaleng berasam tinggi disebabkan mikroba yang tumbuh pada pH di bawah 4,6 dan tahan panas, seperti C. pasteurianum yang bersifat mesofilik, bakteri berspora pembentuk asam yang bersifat asidurik seperti Bacillus coagulans, kapang yang yang memproduksi askospora yang dapat tahan panas, seperti Byssochlamys fulva, dan khamir.

Makanan merupakan sumber gizi bagi pertumbuhan manusia; tetapi juga
dibutuhkan bagi pertumbuhan mikroorganisme. Mikroorganisme tumbuh
secara menyebar di alam ini, baik di udara, tanah ataupun air; juga dapat
mengkontaminasi makanan ataupun bahan-bahan lain yang cocok untuk
pertumbuhannya.Makanan yang terkontaminasi oleh mikroorganisme dapat menyebabkankebusukan; demikian juga bila termakan oleh manusia dapat menyebabkan
berbagai penyakit infeksi dan keracunan. Penyakit tipus, kolera, disentri
merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh makanan yang
terkontaminasi bakteri salmonella sp , vibrio cholera , bacillus sp dan lainlain.
Sanitasi adalah semua tindakan yang ditunjukkan untuk memelihara
kesehatan dan kebersihan lingkungan; atau semua hal yang berhubungan
dengan kesehatan dan kebersihan lingkungan serta usaha-usaha untuk
mempertahankan dan memperbaikinya.
Sanitasi yang baik dalam suatu industri pangan tidak hanya terletak pada
kebersihan bahan baku, peralatan yang digunakan, ruangan dan pekerja;
tetapi juga dalam penanganan dan pembuangan limbah. Demikian juga
perilaku bersih dan sehat dari pekerja pengolahan sangat menentukan
terhadap keberhasilan kegiatan sanitasi. Tersedianya air bersih (air PAM)
dan fasilitas toilet yang memenuhi syarat kesehatan sangat menunjang
tercapainya lingkungan yang bersih.
Pada setiap kegiatan sanitasi, dikenal 4 tahap penting yang harus
dilaksanakan yaitu : 1. Pembasahan
2. Pelarutan
3. Pembilasan
4. Sanitizing (kegiatan saniter)
Pembahasan, pelarutan dan pembilasan biasa dilakukan pada sanitasi
ruangan (lantai, dinding, langit-langit, jendela) dan alat-alat besar; sedangkan
kegiatan saniter biasa digunakan untuk membersihkan alat-alat gelas atau
alat-alat yang digunakan dalam Laboratorium.
Kegiatan pencucian biasanya meliputi pembasahan, pelarutan dan
pembilasan. Pembasahan dan pembilasan dapat menggunakan air dingin,
air hangat ataupun air panas tergantung pada jenis alat dan kotoran yang
melekat.
Dalam pelarutan biasanya digunakan sabun atau deterjen yang dapat
melarutkan sisa kotoran ataupun sisa lemak yang menempel pada peralatan
yang digunakan. Penggunaan deterjen mempunyai beberapa keuntungan,
karena deterjen dapat melunakkan air mengemulsifikasi lemak, melarutkan
mineral dan komponen-komponen larut lainnya. Kegiatan saniter bisa dilakukan dengan menggunakan bahan kimiawi seperti
antiseptik atau desinfektan, juga cara fisik menggunakan panas langsung,
uap panas dan sinar ultra violet.
Dalam memilih bahan kimia sebagai desinfektan atau antiseptik perlu
diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Sifat mikrosidal (membunuh jasad renik)
Komponen kimia yang bersifat membunuh jasad renik disebut
mempunyai sifat bakterisidal (membunuh bakteri) atau fungisidal
(membunuh fungi).
2. Sifat mikrostatik (menghambat pertumbuhan jasad renik)
Beberapa komponen kimia pada konsentrasi rendah tidak dapat
membunuh jasad renik, tetapi hanya menghambat pertumbuhannya.
Komponen tersebut disebut mempunyai sifat bakteriostatik
(menghambat pertumbuhan bakteri) atau fungistatik (menghambat
pertumbuhan fungi). Komponen kimia yang bersifat membunuh lebih
baik daripada yang hanya bersifat menghambat.
3. Kecepatan penghambatan
Beberapa komponen kimia bekerja dengan cepat, sedangkan komponen
lainnya hanya efektif setelah beberapa menit, bahkan ada yang
beberapa jam.
4. Sifat-sifat lain : harga tidak mahal, aktivitasnya tetap dalam waktu lama,
larut didalam air dan stabil di dalam larutan, sifat racunnya, sifat iritasi
pada kulit dan warna yang ditinggalkannya.
Beberapa komponen organik dapat menghambat kerja desinfektan
misalnya : halogen, garam merkuri dan deterjen kationik; sedangkan
sabun dan deterjen anionik dapat membantu penyerapan.
Berdasarkan kandungan bahan aktifnya, desinfektan dapat dikelompokkan
atas delapan grup sebagai berikut :
1. Grup Alkohol Larut
Contoh : Etanol, Isopropil alkohol
Cara Kerja : Koagulasi protein dan melarutkan membran
Sifat : bakterisidal cepat, tuburkulosidal, tidak membunuh spora,
menyebabkan korosi metal, mengeringkan kulit.
2. Grup Gas Sterilisasi
Contoh : etilen oksida
Cara Kerja : substitusi grup alkil didalam sel, dengan atom hidrogen yang
labil
Sifat : tidak berbahaya untuk kebanyakan bahan, mensterilkan bahan,
digunakan untuk bahan yang tidak tahan panas.
3. Grup Gas Disinfektan
Contoh : formaldehide
Sifat : membunuh spora, tidak korosif, membunuh dalam waktu relatif
lama sebagai disinfektan, menimbulkan bau, beracun pada kulit.
4. Grup Halogen
Contoh : khlorin, yodium
Sifat : Khlorin - tuberkulosidal, memutihkan bahan, korosi logam.
Yodium - pencuci dan desinfektan, tidak meninggalkan warna,
meninggalkan residu anti bakteri, korosif terhadap logam,
menyebabkan pengeringan kulit.
5. Grup Fenol
Contoh : kreosol, femol semi sintetis, Lysol
Cara Kerja : koagulasi protein menyebabkan kebocoran membran sol.
Konsentrasi : Kreosol - 2%
Lysol - 1%
Sifat : aktivitas tidak hilang oleh bahan organik, sabun atau air sadah;
meninggalkan efek residu jika mengering.
6. Grup Deterjen Kationik (amonium quaterner)
Cara Kerja : pengerutan membran sel dan merusak permeabilitasnya.
Sifat : tidak berbau, tidak bersifat tuberkulosidal, harus dilarutkan didalam
air destilata; aktivitasnya hilang oleh protein, sabun dan serat
selulosa; aktivitas bakterisidalnya lemah sehingga harus
dikombinasi dengan grup fenol.
7. Grup Deterjen Amoniak (aditif sabun atau deterjen)
Contoh : heksa khlorfen (G 11), serta khlorsalisilanilida, phisohex 3%.
Sifat : aktivitas anti bakteri lama, baik digunakan sebagai pencuci, cara
kerja lambat, beracun jika digunakan terus menerus dan diserap
didalam tubuh.
8. Disinfektan Lain :
- Garam : komponen merkuri organik seperti merkurokhrom
- Alkali : Larutan NaOH (untuk desinfeksi kandang)
- Hidrogenperoksida : untuk mencuci dan mendisinfeksi luka-luka.
- Sabun : aktivitas bakterisidalnya lemah, tetapi efektif untuk mencuci /
menghilangkan jasad renik
- Komponen binguanida : khlorheksidin
- Diadehida : aktivitasnya paling luas yaitu bersifat bakteridal, virusidal,
fungisidal dan sporisidal; dalam keadaan aktif tahan selama
2 minggu, beracun terhdap kulkit dan harganya mahal
Dalam setiap penggunaan desinfektan atau antiseptik lainnya harus
diperhatikan dosis dan konsentrasinya. Penggunaan yang terlalu banyak
daripada seharusnya akan membahayakan kesehatan. Demikian juga bila
kurang dari dosis yang seharusnya maka efeknya akan kurang optimal.
Konsentrasi menunjukkan kepekatan larutan, makin tinggi konsentrasinya
makin pekat larutan tersebut. Bila larutan yang tersedia sangat pekat,
sedangkan yang diperlukan konsentrasinya rendah; maka kita perlu
melakukan pengenceran yang sesuai.
Dosis menunjukkan volume kebutuhan larutan tersebut per satuan luas.
misalnya : dosis 100 ml / 100m2, artinya untuk membersihkan seluas 100 m2,
kita memerlukan bahan kimia tersebut sebanyak 100 ml.
Bahan pangan / bahan baku pengolahan dapat dobersihkan dengan
mencucinya menggunakan air bersih yang mengalir (air kran) agar kotoran
yang telah lepas tidak menempel kembali.
Pada saat ini telah tersedia alat-alat saniter dari mulai yang paling sederhana
seperti sapu, sikat dari berbagai bahan (nylon, plastik, ijuk, sabut dan lainlain)
dengan berbagai ukuran, lap (kain, kulit, busa, spon), sabut cuci;
sampai peralatan modern seperti vaccum cleaner, sikat listrik, mesin pel
elektrik dan lain-lain.
Selanjutnya akan diuraikan praktikum, cara membuat larutan saniter,
pengaruh penggunaan saniter terhadap kontaminan dan cara sanitasi pada
berbagai peralatan.
Uji Kontaminasi Udara Ruang Pengolahan
Udara tidak mengandung mikroorganisme secara alami , tetapi kontaminasi
dari lingkungan sekitarnya mengakibatkan udara mengandung berbagai
mikroorganisme; misalnya dari debu, air, proses aerasi, dari penderita
saluran infeksi dan lain-lain.
Mikroorganisme yang terdapat diudara biasanya melekat pada bahan padat
mikro misalnya debu atau terdapat didalam droplet / tetesan air. Jika didalam
suatu ruangan banyak terdapat debu dan cair, maka mikroba yang
ditemukan didalamnya juga bermacam- macam ; termasuk bakteri , kapang
ataupun khamir .
Mikroorganisme udara didalam ruang pengolahan, dapat diuji secara
kuantitatif menggunakan agar cawan yang dibiarkan terbuka selama
beberapa waktu tertentu didalam ruangan tersebut atau dikenal dengan
Metoda Cawan Terbuka.
Jenis mikroorganisme yang sering terdapat diudara pada umumnya bakteri
batang pembentuk spora baik yang bersipat aerobik maupun anaerobik;
bakteri koki, bakteri gram negatif, kapang dan khamir.
Uji Kontaminasi Wadah dan Alat Pengolahan
Salah satu sumber kontaminan utama dalam pengolahan pangan berasal
dari penggunaan wadah dan alat pengolahan yang kotor dan mengandung
mikroba dalam jumlah cukup tinggi .
Pencucian alat pengolahan dengan menggunakan air yang kotor, dapat
menyebabkan mikroba yang berasal dari air pencuci dapat menempel pada
wadah / alat tersebut .
Demikian juga sisa-sisa makanan yang masih menempel pada alat / wadah
dapat menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme yang cukup tinggi.
Mikroba yang mungkin tumbuh bisa kapang , khamir atau bakteri. Mutu
makanan yang baik akan menurun nilainya apabila ditempatkan pada wadah
yang kurang bersih .
Pengujian kontaminasi pada peralatan pengolahan dapat dilakukan
dengan 2 cara yaitu :
– Metode Rodac : dilakukan terhadap alat-alat pengolahan yang
mempunyai permukaan datar, seperti piring, talenan, loyang, panci, wajan
dll; yaitu dengan cara mengadakan kontak langsung pada agar cawan.
– Metode Bilas : dilakukan dengan cara membilas peralatan atau wadah
yang digunakan untuk mengolah atau mengepak makanan; misalnya
gelas, botol kecap, botol selai (botol jam) dan alat gelas lainnya.
Uji Kontaminasi Pekerja
Sanitasi dalam pengolahan pangan juga ditentukan oleh tingkat kebersihan
dan kesehatan pekerja yang melakukan pengolahan; karena tangan, kuku,
kulit, rambut, saluran perbafasan, maupun pakaian yang kotor dan tidak
terawat dapat menyebabkan kontaminasi pada bahan pangan yang
diolahnya.
Mikroorganisme yang sering terdapat pada kulit adalah bakteri pembentuk
spora dan Staptylococeus sp; sedangkan pada rambut sering terdapat
kapang. Suatu penelitian menunjukkan bahwa 43 sampai 97 persen
pegawai yang bekerja pda berbagai industri pengolahan pangan merupakan
pembawa Staptylococeus sp; Coliform sp. dan enterococcus sp. pada
tangannya.
Untuk menguji tingkat kontaminasi dari pekerja dapat dilakukan dengan
metode agar kontak (metode Rodac).
Uji Kontaminasi Bahan Pangan
Mutu bahan dasar yang digunakan dalam pengolahan pangan sangat
menentukan mutu produk akhirnya (produk olahan). Penggunaan bahan
baku yang terkontaminasi oleh mikroorganisme dalam jumlah yang banyak
akan menghasilkan produk dengan mutu rendah dan kemungkinan
menyebabkan produk lebih mudah busuk selama penyimpanan.
Bahan pangan seperti daging, ikan, susu, telur, sayuran daun, buah-buahan
sangat mudah terkontaminasi oleh berbagai mikroorganisme penyebab
penyakit dan bakteri pembusuk a.l. Salmonella, Clostridium, Vibro, Bacillus
dan lain-lain.
Metode yang digunakan untuk mengetahui adanya kontaminasi pada
permukaan bahan pangan yaitu dengan metode oles (Swab).
Membuat Larutan Saniter
Dalam melakukan sanitasi, larutan saniter sebaiknya dibuat terlebih dahulu
sesuai dengan kebutuhan.
Untuk mengencerkan disinfektan disarankan untuk menggunakan air sadah
standar yaitu : 17 ml larutan CaCl2, 6H2O 10% (b/v) dan 5.0 ml larutan
MgSO4, 7H2O 10% (b/v), kemudian ditambahkan 3.3. liter air suling.
Uji Pengaruh Sanitasi Terhadap Kontaminasi Wadah
Salah satu sumber kontaminan utama dalam pengolahan pangan berasal
dari penggunaan wadah dan alat-alat pengolahan yang kotor dan
mengandung mikroba dalam jumlah yang cukup banyak. Sanitasi yang
dilakukan terhadap wadah dan alat-alat pengolahan pangan meliputi
pencucian untuk menghilangkan kotoran dan sisa-sisa makanan, diikuti
dengan perlakuan saniter menggunakan germisidal atau bakterisidal.
Deterjen yang digunakan untuk mencuci wadah dan alat-alat pengolahan
tidak boleh bersifat korosif dan mudah dicuci / dibilas dari permukaan.
Uji Pengaruh Sanitasi Terhadap Tingkat Kebersihan Tangan Pekerja
Tangan pekerja merupakan bagian tubuh yang paling sering kontak dengan
bahan pangan selama pengolahan. Perilaku yang kurang baik dari seorang
pekerja, misalnya tidak mencuci tangan sebelum bekerja; mengorek kuping,
tidak mencuci rambut, memegang hidung yang kena flu, bersin,
mengeluarkan dahak selama bekerja; toilet yang kurang bersih dan
kebiasaan lainnya; sangat potensial dapat memindahkan mikroorganisme
patogen yang ada pada tubuhnya ke dalam makanan yang sedang diolah.
Hal tersebut dapat berakibat terkontaminasinya makanan tersebut.
Sangat dianjurkan agar pekerja selalu membersihkan tangannya sebelum
bekerja, mencuci dengan air bersih dan sabun serta disediakan lap tangan
atau tisue.
Uji Pengaruh Sanitasi Terhadap Kontaminasi Pada Sayuran
Sayuran maupun buah-buahan yang akan dijadikan bahan baku dapat
merupakan sumber kontaminasi apabila tidak dibersihkan terlebih dahulu.
Mikroorganisme yang menempel pada bahan tersebut dapat berasal dari
tanah tempat tumbuhnya, penanganan yang kurang baik, pisau pemotong
yang kurang steril, air pencuci yang kurang bersih, juga berasal dari tangan
pekerja.
Tahap pertama yang perlu dilakukan terhadap bahan baku sebelum
pengolahan adalah membersihkan dari kotoran, kemudian dilakukan
pencucian dengan air mengalir atau air kran.
Sanitasi Menggunakan Bahan Kimia
Sanitasi Cara Fisik
Sanitasi secara fisik umumnya dilakukan dalam sterilisasi alat atau bahan
dengan tujuan untuk membebaskan dari segala bentuk kehidupan, terutama mikroba. Sanitasi cara fisik dapat dilakukan dengan pemanasan, sinar ultra
violet, sinar X dan lain-lain. Cara pemanasan yang digunakan tergantung
pada macam dan sifat bahan yang disterilkan (padat, cair), serta ketahanan
bahan terhadap panas.








PENUTUP
Kontaminan atau cemaran dapat diartikan secara luas sebagai semua benda
asing yang tidak dikehendaki baik berupa debu, kotoran, tanah, pasir,
potongan tangkai, daun, jasad renik, serangga, kutu dan lain-lain yang
mencemari bahan, alat maupun ruangan pengolahan.Kontaminan ada yang mudah dilihat wujudnya, ada pula yang tidak terlihat(kasat mata). Yang paling berbahaya adalah yang tidak terlihat sepertibakteri , kapang, khamir maupun virus. Kontaminan juga belum tentu
merupakan bahan yang kotor tetapi bahan yang bersihpun dapat merupakan
cemaran apabila salah tempat, misalnya :
- tepung terigu mengotori saus tomat
- saus tomat mengotori susu
- olie mencemari adonan kue dst.
Sebaliknya meskipun minyak olie itu kotor, tapi bila ada pada tempat yang
sesuai, misalnya pada mesin pengolahan sebagai pelumas; maka bahan
tersebut bukan merupakan cemaran.Yang akan dibahas disini terutama kontaminan yang disebabkan olehmikroorganisme yang dapat mencemari makanan ataupun bahan pangan
dan hasil pertanian lainnyaSumber kontaminan pada bahan pangan dibagi dalam 2 kelompok besaryaitu kontaminan primer dan kontaminan sekunder.Kontaminan primer disebabkan oleh perlakuan sebelum dipanen ataudipotong ( untuk hewan ) misalnya berasal dari makanan ternak, pupuk kandang, penyiraman dengan air tercemar dan lain-lain.Kontaminan sekunder dapat terjadi pada beberapa tahapan setelah bahan
pangan dipanen atau dipotong, misalnya selama pengolahan, penjualan,penyajian.distribusi maupun penimpanan dan persiapan oleh konsumen.
Sumber kontaminan sekunder dapat berasal dari produk itu sendiri misalnya
daging, telur, susu, ikan, unggas, seafood, sayuran, buah-buahan dan
rempah- rempah. Bahan pangan tersebut apabila tidak ditangani secara baik
dapat terkontaminasi oleh mikroorganisme.
Sumber kontaminan bisa juga berasal dari lingkungan ( udara, tanah , air )
peralatan pengolahan, pekerja pengolahan, sampah produksi, serangga,
tikus dan lain-lain.
Udara sekitar ruang pengolahan sering terkontaminasi mikroba yang berasal
dari debu , udara yang dikeluarkan oleh penderita penyakit saluran napas dll.
Peralatan pengolahan yang tidak dicuci bersih seperti pisau (slicer), talenan,
dan peralatan lain yang berhubungan langsung dengan bahan pangan; juga
peralatan saji seperti piring, gelas, sendok, botol dan lain-lain. dapat menjadi
sumber kontaminan.
Kebiasaan pribadi (personal habit) pada pekerja dan konsumen dalam
mengelola bahan pangan dapat merupakan sumber yang penting dari
kontaminan sekunder. Beberapa peristiwa dari keracunan bahan pangan
yang tercemar oleh Staphylococcus aureus, diakibatkan oleh higiene yang
buruk dari pengolahan bahan pangan tersebut . Luka-luka atau iritasi pada
kulit merupakan sumber kontaminan mikroba, sehingga harus ditutup, Batuk
atau bersin sekitar bahan pangan sebaiknya dihindarkan, demikian juga
pekerja yang menderita diare tidak diperkenankan bekerja dengan bahan
pangan.
Sanitasi dalam industri pangan, mencakup cara kerja yang bersih dan
aseptik dalam berbagai bidang, meliputi persiapan pengolahan, pengepakan,
penyiapan maupun transport makanan.
Hygiene menunjukkan pelaksanaan prinsip sanitasi untuk menjaga
kesehatan dan kebersihan lingkungan. Dengan melaksanakan prinsip
sanitasi selama pengolahan maka kontaminasi dapat dikurangi atau ditekan
seminimal mungkin.
Untuk membuktikan bahwa udara, ruangan pengolahan, peralatan, pekerja,
bahkan pangan itu sendiri dapat menjadi sumber kontaminan, dapat
dilakukan pengujian secara sederhana.




DAFTAR PUSTAKA

Betty, S L. Jenie, Deddy Muhtadi, 1978. Praktek Mikrobiologi Hasil
Pertanian. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan , Depdikbud,
Jakarta.
Betty, S.L. Jenie, Srikandi Fardiaz, 1989. Petunjuk Laboratorium Uji
Sanitasi Dalam Industri Pangan, PAU Pangan dan Gizi , IPB- Bogor.
Buckle, K.A, Edward, R.A,Fleet, G.H., M. Wooton, 1985, Ilmu Pangan,
Penerjamah Purnomo dan Adiono, UI-Press. Jakarta.
Guthine, Rufus, K., 1972. Food Sanitation. The AVI Publishing Company.
Westport. Connecticut.
Longree, Karla., Gertruade, G. Blaker. 1971. Sanitary Techniques in Food
Service. John Wiley & Sons Inc. New York. Sydney.
Marriot. G. Norman. 1985. Pronciples of Food Sanitation. The AVI Book,
Published by Van Nostrand Reinhold Comp. New York.
Srikandi Fardiaz. 1987. Penuntun Praktek Mikrobiologi Pangan. Lembaga
Sumberdaya Infoemasi. IPB Bogor.
____________, Betty, S.L. Jenie. 1984. Sanitasi Dalam Pengolahan
Pangan. Fateta. IPB-Bogor.
____________, 1992. Mikrobiologi Pangan. Penerbit Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Anwar,H., dan J.W. Coterton.1992. Effective Use of Antibiotics in the Treatment of Biofilm-Associated Infections. American Society for Microbiology News. 58:665-668.
Costerton, J.W., et al. 1987. Bacterial Biofilms in Nature and Disease. Annual Review of Microbiology. 41:440-442.
Gristina, A.G. 1987. Biomaterial-Centered Infection:Microbial Adhesion Versus Tissue Integration. Science. 237-1588-1590.
Marshall, K.C. 1992. Biofilms: An Overview of Bacterial Adhesion, Activity, and Control at surfaces. American Society for Microbiology News. 58: 2203-205.
Neu, T.R., H.C. VanDerMei, and H.J. Bussscher. 1992. Biofilms Associated with Health, p. 23-24. In L.F. Melo, T.R.Bott,M. Fletcher and B. Capdeville (ed), Biofilms-Science and Technology. Kluwer Acaaademic Publisher, The Netherlands.
McCarthy M. Breaking up the bacterial happy home. Lancet. 2001;357(9273):2032
LC Skillman, IW Sutherland & MV Jones (1997) Co-operative biofilm formation between two species of Enterobacteriaceae. pp 119-127 in Biofilms. Community Interactions and Control (ed. J. Wimpenny et al.) Bioline Publications.