Kamis, 15 Januari 2009

gillnet

Gambaran secara umum
Gill net sering diterjemahkan dengan “ jarring insang ”, jarring rahang. Istilah
gill net didasarkan pada pemikiran bahwa ikan ikan yang tertangkap ‘ gill net ‘ terjerat di sekitar operculumnya pada mata jarring
Tertangkapnya ikan dengan gill net ialah dengan cara ikan ikan tersebut terjerat
( gilled ) pada mata jarring ataupun terbelit ( entangled ) pada tubuh jarring
Pada umumnya yang disebutkan dengan gill net ialah jarring yang berbentuk empat persegipanjang, mempunyai mata jarring yang sama ukurannya pada seluruh jarring, lebar lebihpendek jika dibandingkan dengan panjangnya. Dengan perkataan lain, jumlah mesh depth lebihsedikit jika dibandingkan dengan jumlah mesh size pada arah panjang jarring ( Ayodhyoa, 1981 )
B. Jenis jenis Gill Net
Berdasarkan cara operasi ataupun kedudukan jarring dalam perairan maka Ayodhyoa (1981) dan Nomura ( 1978 ) membedakan :
Surface Gill Net
Float line ( tali pelampung, tali ris atas ) akan berada di permukaan air ( sea surface ).
2. Bottom Gill Net
Karena jarring ini direntang dekat pada dasar laut, maka dinamakan bottom gill net, berarti jenis ikan yang menjadi tujuan penagkapan ialah ikan ikan dasar ( bottom fish ) ataupun ikan ikan demersal.
3. Drift Gill Net
Posisi jarring ini tidak ditentukan oleh adanya jangkar tetapi bergerak hanyut bebas mengikuti arah gerakan arus.
gill net ini dapat pula digunakan untuk mengejar gerombolan ikan dan merupakan suatu alat penangkap yang penting untuk perikanan laut bebas.
4. Encricling gill net atau Surrounding gill net
Gerombolan ikan dilingkari dengan jarring, antara lain digunakan untuk menghadang arah lari ikan.
Sinker line haruslah menyentuh dasar perairan. Oleh karena itu pada operasi keadaan pasang naik / pasang surut perlulah mendapatkan perhatian. Alat ini juga banyak dipakai oleh nelayan untuk menangkap ikan yang hidup di perairan karang
C. Syarat syarat yang harus dipenuhi oleh gillnet
kekuatan dari twine (Rigidity of Netting twine )
Twine yang dipergunakan hendaklah lembut, tidak kaku, pliancy, suppleness terutama bagi jarring yang ditujukan untuk menangkap ikan dengan cara entangled hal ini sangatlah perlu
b. ketegangan rentangan tubuh jarring
Yang dimaksud dengan ketegangan rentang disini ialah rentangan ke arah
lebar atau ke arah rentangan panjang jaring..
c. shortening atau shrinkage
pengerutan yaitu beda panjang tubuh jarring dalam keadaan tegang sempurna ( stretch ) dengan panjang jarring setelah diletakkan pada float line atau sinker line dan dinyatakan dalam persen.

d. tinggi jarring
Yang dimaksud dengan istilah tinggi jarring disini ialah jarak antara float line ke sinker line pada saat jarring tersebut terpasang di perairan
e. mesh size dan besar Ikan
Untuk mendapatkan catch yang besar jumlahnya pada suatu fishing ground, hendaklah mesh size disesuaikan besarnya dengan besar badan ikan yang jumlahnya terbanyak pada fishing ground tersebut.
f.warna jarring
hendaklah warna jarring sama dengan warna air di perairan tersebut.
D. Kesimpulan
Gill net mudah dioperasikan dan merupakan alat penangkapan yang harganya relative murah sehingga pengembangan alat ini sangat besar pengaruhnya terhadap peningkatan pendapatan nelayan dan produksi ikan. Ciri utama dari dari alat penangkapan ikan jenis gill net atau jarring ingsang ini adalah sifat selektifitas dalam penangkapan ikan. Sifat ini disamping mengandung aspek positif karena dapat menangkap ikan menurut ukuran ikan yang dikehendaki sesuai dengan keperluan konsumen, di lain pihak dapat mengundang sisi negative karena dapat menangkap ukuran ikan yang seharusnya dilarang demi kelestarian sumberdaya hayati perairan.

Sistem Informasi Manajemen

Sistem Informasi Manajemen

Oleh:irfanto

Pengertian

Sistem Informasi Manajemen (SIM)

- SIM terutama melayani fungsi perencanaan, pengendalian, dan pengambilan keputusan di tingkat manajemen

- SIM merangkum dan melaporkan operasi-operasi dasar dari perusahaan

- SIM biasanya melayani manajer yang tertarik pada hasil-hasil mingguan, bulanan, dan tahunan

Sistem Pendukung (pengambilan)Keputusan (SPK)

- SPK membantu para manajer untuk mengambil keputusan yang semi-terstruktur, unik, atau berubah dengan cepat, dan tidak dapat ditentukan dengan mudah di awal

- SPK lebih memiliki kemampuan analisis dibandingkan sistem lain

Karakteristik Sistem Informasi Manajemen

- SIM mendukung pengambilan keputusan terstruktur pada tingkat kendali operasional dan manajemen. Juga berguna untuk tujuan-tujuan perencanaan bagi manajer senior

- Biasanya berorientasi pada pelaporan dan pengendalian

- SIM bergantung pada basis data dan alur data yang telah tersedia di perusahaan

- SIM memiliki kapabilitas analitik

- SIM secara umum membantu dalam pengambilan keputusan menggunakan data saat ini dan masa lalu

- SIM bisa memiliki orientasi internal atau eksternal

Jenis Sistem Informasi

Terdapat bermacam-macam sistem informasi, sesuai dengan tingkatan manajemen dan fungsi bisnisnya, sebagaimana terlihat pada ilustrasi berikut

Siklus Hidup Pengembangan

Metode pengembangan Sistem Informasi meliputi beberapa tahap secara umum sebagai berikut

1. Perencanaan

2. Analisis

3. Perancangan

4. Pengembangan

5. Penggunaan

Tahap Perencanaan

Tujuan

1. menentukan ruang lingkup proyek

2. mengenali berbagai area permasalahan potensial

3. mengatur urutan tugas

4. membuat dasar untuk pengendalian

Tahap Analisis

Tujuan : penelitian sistem yang telah ada dengan target merancang sistem yang baru atau diperbarui

Langkah-langkah :

1. sosialisasi penelitian sistem

2. pengorganisasian tim proyek

3. mendefinisikan kebutuhan sistem informasi

4. menyiapkan usulan rancangan

5. menerima / menolak rancangan

Tahap Perancangan

Tujuan : menentukan operasi dan data yang dibutuhkan oleh sistem baru

Langkah :

1. menyaipakan rancangan sistem terperinci

2. mengidentifikasi berbagai alternatif konfigurasi sistem

3. mengevaluasi berbagai alternatif sistem

4. memilih konfigurasi terbaik

5. menyiapkan usulan penerapan

Tahap Pengembangan

Tujuan : memperoleh dan mengintegrasikan sumber daya fisik dan konseptual yang menghasilkan sebuiah sistem yang bekerja

Langkah :

1. merencanakan pengembangan

2. mendapatkan sumberdaya perangkat keras dan lunak

3. menyiapkan basisdata

4. melatih pengguna

5. masuk ke sistem baru

Tahap Penggunaan

Tujuan : menggunakan sistem baru, melakukan penelitian formal untuk menilai sejauh mana kinerja sistem baru dan memeliharanya

Langkah :

1. menggunakan sistem baru

2. mengaudit sistem baru

3. memelihara : memperbaiki kesalahan, memutakhirkan, dan meningkatkan lagi sistem

Kamis, 08 Januari 2009

PENANGANAN DAN PENGOLAHAN BAHAN/MATERIAL PRODUK PERIKANAN BUDIDAYA

PENANGANAN DAN PENGOLAHAN BAHAN/MATERIAL PRODUK PERIKANAN BUDIDAYA
DALAM MENGHADAPI PASAR GLOBAL: PELUANG DAN TANTANGAN
Oleh:
irfanto
I. PENDAHULUAN
Sektor perikanan memegang peranan penting dalam perekonomian nasional terutama dalam penyediaan lapangan kerja, sumber pendapatan bagi nelayan/petani ikan, sumber protein hewani yang bernilai gizi tinggi, serta sumber devisa yang sangat potensial.
Dalam beberapa tahun terakhir ini ekspor komoditi perikanan Indonesia terus menunjukkan laju kenaikan. Berbeda dengan komoditi lain yang mengalami kemerosotan ekspor sebagai dampak krisis moneter, ekspor produk perikanan hampir tidak terpengaruh oleh resesi ekonomi bahkan nilainya cenderung meningkat. Dari data ekspor perikanan tahun 1994 – 1998 menunjukkan kenaikan 7,01 % pertahun (volume) dan 4,9 % pertahun (nilai) (Ditjen Perikanan, 2000). Kecenderungan ini nampaknya disebabkan karena kandungan lokal komoditi perikanan sangat tinggi sehingga daya saingnya di pasaran global lebih kuat. Selain itu pula kekurangan pasokan ikan di pasaran dunia ikut mempengaruhi kecenderungan tersebut, dimana menurut FAO diperkirakan kekurangan tersebut hingga tahun 2010 dapat mencapai 2 juta ton pertahun.
Pasar domestik cukup kuat, dari produksi perikanan 1998 tercatat 4,7 juta ton yang dipasarkan dalam negeri sebesar 4 juta ton dan ini masih belum cukup memenuhi kecukupan pangan penduduk akan ikan. Berdasarkan PROTEKAN 2003 tingkat konsumsi ikan per kapita penduduk Indonesia pada tahun 1998 baru mencapai 19,25 kg/kapita/tahun atau 72,5 % dari standar kecukupan pangan akan ikan (26,55 kg/kapita/tahun) (Kusumastanto, 2001). Dengan ditargetkan 22 kg/kapita saja, pasar domestik masih memerlukan tambahan pasok ikan lebih 0,5 juta ton/tahun (Suboko, 2001). Hal ini tidak mungkin dipenuhi oleh usaha penangkapan saja tetapi juga oleh hasil budidaya. Bila dilihat dari produksi perikanan 4,7 juta ton, lebih dari 75 % dari produksi tersebut berasal dari penangkapan. Disisi lain dari sumberdaya ikan lestari (MSY) sebesar 6,2 juta ton/tahun produksi penangkapan hampir mendekati titik jenuh. Sedangkan potensi untuk perikanan budidaya masih sangat besar, dimana 4,29 juta ha hutan bakau yang ada 830.000 ha (20 %) dapat dimanfaatkan untuk budidaya air payau, perairan umum seluas 14 juta ha, dimana 140.000 ha dapat dimanfaatkan untuk budidaya air tawar belum lagi luasnya daerah persawahan (1,7 juta ha) yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya (mina padi) serta perairan pantai seluas 80.925 ha, dapat dimanfaatkan untuk budidaya laut (Ditjen Perikanan, 1995).
Dengan demikian peluang untuk mengembangkan perikanan budidaya masih sangat besar guna memenuhi kebutuhan pasar domestik dan dunia. Sedangkan tantangan yang akan terus dihadapi pada pasar dunia bagi komoditi ekspor perikanan budidaya adalah yang menyangkut mutu dan sanitasi (food safety) seperti masalah kandungan hormon dan antibiotik, bakteri patogen, racun hayati laut (biotoxyn), pestisida, dimana kandungan-kandungan ini berasal dari lingkungan budidaya serta masalah lain seperti gencarnya kampanye anti udang tambak oleh GAA (Global Aquaculture Alliance) dengan anggapan merusak hutan bakau dan kelestarian lingkungan. Oleh karena itu perlu meningkatkan komoditi-komoditi yang dibutuhkan pasar dan bernilai tinggi serta menerapkan system jaminan mutu/food safety (HACCP) di unit-unit produksi yang diwajibkan oleh CAC/FAO/WHO (Codex Alimentarius Commission) dan negara-negara importir. Disamping itu setiap pembuat tambak udang selalu mengikuti kaidah-kaidah AMDAL dan kelestarian lingkungan yang berlaku sehingga tidak menimbulkan masalah yang berkaitan dengan ekspor udang tambak.
Dalam penanganan dan pengolahan pasca panen disamping mengantisipasi mutu dan aspek “food safety” maka perlu dikembangkan jenis olahan yang dapat lebih memberikan nilai tambah dengan diversifikasi olahan dari produk primer ke produk sekunder dan produk siap makan (ready to eat).
I.2. PELUANG EKSPOR KOMODITI PERIKANAN BUDIDAYA
Peluang Sumber daya perikanan budidaya
Kebutuhan ikan untuk pasar dunia sampai tahun 2010 diperkirakan oleh FAO, masih akan kekurangan pasok ikan sebesar 2 juta ton/tahun. Hal ini tidak mungkin dipenuhi oleh usaha penangkapan, namun harus dipasok oleh usaha budidaya.
Indonesia mempunyai peluang yang sangat baik untuk terus mengembangkan perikanan budidaya. Hal ini didukung dari data Ditjen Perikanan (1995), bahwa potensi sumberdaya perikanan yang sangat besar khususnya untuk jenis-jenis ikan komersial seperti udang, kerapu, baronang, kakap putih, rumput laut, kerang-kerangan, paha kodok, bekicot dan lain-lainnya. Dengan areal hutan bakau seluas 830.000 ha dapat dimanfaatkan untuk pertambakan dengan potensi produksi 964.143 ton udang dan 308.275 ton ikan. Sedangkan dari perairan umum (waduk, danau, rawa, sungai, dan lainnya), 140.000 ha dapat dimanfaatkan untuk budidaya air tawar yang diperkirakan produksinya mencapai 800.000 – 900.000 ton pertahun, belum lagi daerah persawahan (1,7 juta ha) yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya mina padi. Sedangkan perairan pantai seluas 80.925 ha, dapat dimanfaatkan untuk budidaya laut dengan potensi produksi 46,73 ton pertahun yang terdiri dari ikan 1,08 juta ton, kerang-kerangan 45,171 juta ton dan rumput laut 482 ribu ton.
Secara umum permintaan terhadap komoditi perikanan Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Beberapa jenis komoditas perikanan Indonesia yang diekspor adalah udang, tuna/cakalang, rumput laut, kepiting, kerang-kerangan dan lain sebagainya. Sementara itu, meningkatnya permintaan ikan di pasaran dunia dipengaruhi oleh meningkatnya jumlah penduduk, tingkat pendapatan, bergesernya selera konsumen dari “red meat” ke “white meat” dan kebutuhan manusia akan makanan sehat (healthy food) serta rasa ketidak amanan manusia untuk mengkonsumsi daging ternak seperti adanya penyakit Mad cow disease, Dioxin dan penyakit mulut dan kuku yang melanda hewan ternak di Eropa dan Amerika memberikan dampak positip pada peningkatan konsumsi ikan.
Peluang ekspor perikanan budidaya
Dari data statistik ekspor perikanan menurut negara tujuan tahun 2000 ke 91 negara, dimana secara keseluruhan dari tahun 1998 sebesar 650.291 ton dengan nilai US$ 1.698.675 meningkat menjadi 703.155 ton dengan nilai US$ 1.739.312 pada tahun 2000. Jumlah ekspor terbesar ditujukan ke jepang (50 %), Amerika (17 %), UE (13 %), Asia (20%) dan ASEAN (10 %). Sedangkan keragaman ekspor komoditi perikanan sebagian masih dalam bentuk utuh beku dan segar dimana sebagian pasar utamanya adalah Jepang (Ditjen Perikanan, 2000). Sedangkan dari data sertifat ekspor 1999 – 2000 (BPPMHP, 2000), hasil perikanan budidaya seperti kerapu, nila, udang dan rumput terjadi peningkatan ekspor pada komoditas ikan nila dan kerapu. Untuk ekspor ikan nila dalam bentuk utuh maupun fillet ditujukan kenegara seperti Amerika, Inggris, Perancis, Jerman, Australia dan Singapura. Peningkatan ekspor pada ikan nila sangatlah meyakinkan di masa mendatang oleh karena daging nila umumnya berwarna putih dan dapat digunakan untuk pengganti produksi filet ikan kakap merah yang sebagai salah satu primadona perdagangan ikan internasional. Dengan demikian ikan nila telah menunjukkan kemantapan dengan perluasan pasar secara cepat di AS dan negara-negara Eropa. Sedangkan pada ikan kerapu ekspornya ditujukan kenegara Amerika, Australia, Hongkong, Taiwan, Inggris, Jepang dan Singapura.
Permintaan udang windu terus meningkat sedikitnya diatas harga US$ 15/ kg. Dilain pihak harga udang putih bergerak naik sekitar US$ 12/kg sedangkan harga udang Pandalus cenderung menurun mendekati US$ 6/kg (Seafood International, 2001). Sedangkan Jepang, Amerika dan Uni Eropa tetap merupakan negara pengimpor udang terbesar. Dilain pihak sumberdaya udang cenderung menurun dan hampir menunjukkan kepunahannya dialam/diperairan umum. Hal ini ditandai munculnya ukuran (size) pada udang-tangkap yang diekspor serta menurunnya jumlah tangkapan udang di laut. Komoditas perikanan yang lain seperti rumput laut merupakan komoditi ekspor yang penting dari Indonesia, akan tetapi di ekspornya masih dalam bentuk bahan mentah yang kemudian di impor kembali dalam bentuk produk jadi. Eksplotasi rumput laut masih terbatas makro algae dimana alga dikonsumsi sebagai bahan makanan tambahan bukan sebagai bahan makanan utama. Konsumsi rumput laut per hari di Jepang adalah 10 gr orang/hari, sedangkan nilai komersial yang penting pada rumput laut adalah asam alginat dan turunannya focoidan dan laminaran untuk alga merah dan untuk alga coklat adalah agar dan carrageenan. Untuk kawasan ASEAN seperti Philipina, industri rumput laut berhasil memasukkan devisa sebesar US$ 670 juta per tahun yang bahan bakunya justru di Impor dari Indonesia. Dengan demikian peluang dan prospek pengembangan budidaya ikan nila, kerapu, udang dan rumput laut cukup besar pasarnya, namun kekewatiran masyarakat terhadap hasil perikanan budidaya juga semakin meningkat.
I.3 TANTANGAN EKSPOR KOMODITI PERIKANAN BUDIDAYA
Dengan adanya era globalisasi maka system perdagangan komoditi perikanan tidak hanya ditentukan oleh faktor “supply and demand” semata-mata, tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai konvensi dan perjanjian internasional yang cenderung mengatur mekanisme perdagangan internasional komoditi perikanan.
Secara umum, masalah utama yang dihadapi dalam pengembangan ekspor komoditi perikanan adalah tarif bea masuk yang dikenakan oleh negara pengimpor sangat bervariasi dari negara dan dari jenis ke jenis. Selain itu issu global seperti issu lingkungan, jaminan keamanan pangan (food safety) dan sebagainya, serta dimasukkannya perjanjian SPS (sanitary and phytosanitary) sebagai salah kesepakatan GATT putaran Uruguay, mempunyai tujuan memperlancar perdagangan hasil pertanian. Akan tetapi pada kenyataannya, dimanfaatkan oleh beberapa negara industri sebagai hambatan teknis (techincal barrier) dalam perdagangan, dengan tujuan untuk menyaring masuknya keomoditas pertanian dari luar.
Masalah lain sebagai tantangan ekspor komoditi perikanan Indonesia adalah adanya sinyalemen tentang kontaminasi ikan salmon oleh senyawa PCB (Polychlorinated biphenyl) dan dioxin yang sangat berbahaya sehingga menimbulkan animo masyarakat terhadap ikan salmon cenderung menurun. Hal ini tentu dapat saja terjadi bagi komdoditi perikanan Indonesia, dimana pencemaran dioksin (racun hayati laut) dari PSP (Paralytic Shellfish Poisoning) juga melanda beberapa perairan Indonesia. Sedangkan masalah GMOs (Genetically Modified Organisms) dan LMOs (Living Modified Organisms) perlu dipertimbangkan, oleh karena berkembangnya rekayasa genetika. Masalah ini sering menjadi batasan import bagi Jepang dan UE. Sebagai contoh sering terjadi pada tuna kaleng yang menggunakan media minyak (kedele) yang berasal dari GMOs banyak yang ditolak oleh 2 negara tersebut.
Beberapa masalah utama yang dihadapi oleh komoditi perikanan budidaya adalah adanya :
1. Bakteri patogen : Salah satu persyaratan yang ditetapkan oleh negara pengimpor maju pada komoditas perikanan adalah bebas dari bakteri patogen. Eropa mempersyaratkan udang beku (kecuali udang rebus beku) harus bebas dari bakteri Salmonella dan beberapa negara lain mempersyaratkan E. coli dan bakteri patogen. Penyebab masuknya bakteri tersebut adalah kurangnya sanitasi dan higiene dalam budidaya, sebagai contoh hasil pengujian BPPMHP (1997) menyebutkan dari kombinasi ikan nila dan ternak ayam (Longyam), positip mengandung Salmonella.
Selain itu, pada komoditi kekerangan, beberapa negara maju memberlakukan syarat yang lebih ketat terhadap masuknya impor kekerangan. Persyaratan yang harus dipenuhi adalah adanya standar sanitasi terhadap perairan untuk budidaya dan pengumpul. Dari hasil monitoring perairan untuk budidaya kerang yang dilakukan BPPMHP (1999), terjadi pencemaran bakteri V. parahaemolyticus diperairan Riau, Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan kandungan bakteri bervariasi 23 - < 1100/gr, sedangkan standar dari UE adalah < 300/100 gr. Menurut Tyoyib et al (1977) beberapa bakteri patogen ditemukan pada kerang Anadara dan Crassostrea yang ditangkap di teluk Jakarta, dimana kerang Anadara ditemukan Salmonella 52,3 %, Shigella 6,3 %, E. coli 8,3 %, Staphilococus 1 % dan V. parahaemolyticus 3 %. Sedangkan Crassostrea mengandung Salmonella 46 %, E. coli 16 %, Staphilococus 37,1 % dan V. parahaemolyticus 5,5 %.
Syarat lain adalah untuk kekerangan yang akan dipasarkan diharuskan melakukan purifikasi (pembersihan). Salah satu metode purifikasi (pembersihan) adalah depurasi, dari hasil uji coba depurasi dengan sinar U.V , selama 48 jam dapat menurunkan ALT dari 106 menjadi 103 serta E. coli < 3 per gr contoh daging kerang (BPPMHP, 1994).
2. Marine biotoxin (racun hayati laut) : Selain mengandung bakteri patogen, beberapa komoditi perikanan dapat tercemar oleh adanya biotoxin. Hal ini disebabkan adanya alga yang mengandung racun PSP (Paralytic Shellfish Poisoning), NSP (Neurotoxic Shellfish Poisoning), DSP (Diarrhetic Shellfish Poisoning), ASP (Amnesic Shellfish Poisoning) dan CFP (Ciguatera Fish Poisoning). Dari hasil monitoring BPPMHP (1999) perairan yang mengandung PSP > 80 Ug/100 gr adalah perairan Lampung dan Ambon. Oleh karena itu perairan tersebut tertutup untuk budidaya dan penangkapan. Sedangkan komoditasnya tidak boleh dijual atau diekspor. Biotoxin PSP, NSP, DSP, ASP umumnya terdapat pada kekerangan. Sedangkan CFP sering terdapat pada ikan-ikan karang seperti kakap, kerapu dsb. Oleh karena itu pada ikan karang dan kekerangan yang akan diekspor, beberapa negara mempersyaratkan komoditas bebas dari dioksin.
3. Hormon, antibiotik, pestisida dan logam berat : Dengan dalih untuk meningkatkan keamanan pangan (food safety) pada produk perikanan yang beredar di pasaran, Eropa telah mengeluarkan peraturan kepada semua negara pengekspor ikan budidaya untuk menyampaikan program pengendalian dan monitoring residu hormon dan antibiotik. Bagi negara yang tidak mematuhi ketentuan tersebut, maka izin ekspor ke UE akan dicabut. Dari hasil monitoring antibiotik yang dilakukan BPPMHP (2000) pada beberapa udang di tambak Jawa dan Lampung, dihasilkan udang positip mengandung antibitoik. Untuk itu perlu upaya pengendalian pengunaan antibiotik adalah dengan memberikan antibiotik (jika diperlukan) pada ikan/udang yang dibudidayakan. Sedangkan penen dapat dilakukan minimal 1 bulan setelah pemberian antibiotik untuk menghindari adanya residu. Untuk residu hormon dan pestisida sampai saat ini belum dilakukan pengujian. Sedangkan untuk logam berat BPPMHP (1999) telah melakukan monitoring dengan hasil logam berat (merquri) pada komoditas perikanan masih dibawah ambang batas (< 0,5 ppm).
4. Kampanye anti udang tambak : Dengan semakin meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap kelestarian lingkungan, beberapa negara maju dan kelompok LSM yang tergabung dalam Global Aquaculture Alliance (GAA) telah mulai mengadakan kampanye anti udang tambak. Hal ini disebabkan karena pembuatan tambak udang dianggap merusak hutan bakau dan menggamggu kelestarian lingkungan. Untuk itu dalam upaya menangkal kampanye anti udang tambak, setiap pengembangan tambak selalu memperhatikan aspek kelestarian lingkungan atau AMDAL
Untuk menghadapi tantangan tersebut, kiat yang harus ditempuh oleh dalam menghadapi pasar global adalah dengan meningkatkan efisiensi mulai dari saat budidaya sampai pemasaran agar harga di pasar lebih kompetitif serta meningkatkan sistem pembinaan mutu (PMMT) yang mengacu pola HACCP yang secara resmi diakui oleh CAC/FAO/WHO.
II.PEMBAHASAN
PRINSIP-PRINSIP PENERAPAN HACCP DI BUDIDAYA
Potensi bahaya (Hazard) dalam budidaya ikan/udang adalah berupa bahaya biologi, kimia dan fisik. Bahaya ini dapat setiap waktu masuk pada ikan/udang yang dibudidayakan dan pada pengolahan, seperti tercemarnya pakan oleh pestisida, tidak tepatnya penggunaan bahan kimia/obat-obatan,tercemarnya lingkungan budidaya oleh bakteri/virus, terjadinya kontaminasi selama pengolahan produk dan lain sebagainya. Hazard yang spesifik pada budidaya udang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Contoh-contoh hazard pada produk budidaya
Kelompok Hazard
Contoh hazard
Biologi
Bakteri patogen
Salmonella, Shigella, E. coli, Vibrio


Cholerae, Vibrio parahaemolyticus,


Aeromonas hydrophilla, Listeria mono


cytogenes dan lain-lain

Parasit/protozoa
Parasit padaTrematoda,Cestoda/


Nematoda ( Clonorchis sinensis,


Anisakis dan lain-lain

Virus
Hepatitis A, Norwalk virus dll

Mycotoxin
Aflatoxin
Kimia
Residu obat
Hormon, antibiotik, pengatur tumbuh

Residu Pestisida
Herbisida, Fungisida, insektisida

Logam berat
Merkuri, cadmium, copper dll
Fisika

Kaca, kayu, rambut dll.
Sumber : FDA, 1998
Tabel 2. Potensi hazard pada beberapa ikan budidaya.
Komoditas
Potensi hazard
Udang tambak
Kimia
Aldrin/dieldrin, benzen hexachlorida, DDT, TDE, DDE, Fluridone, Nikel, Arsen, Cadmium

Obat-obatan
Oxitetracyclin,Tricaine, larutan.forma-lin,sulfamerzin,Sulfadimethoxin
Tilapia/nila
Kimia
Aldrin/dieldrin, benzen hexachlorida, DDT, TDE, DDE, Fluridone, Nikel, Arsen, Cadmium

Obat-obatan
Oxitetracyclin,Tricaine, larutan.forma-lin,sulfamerzin,Sulfadimethoxin
Kakap
Biologi
parasit anisakis, pseudoterranova, eustrongylides

Dioksin
PSP, DSP, NSP, ASP, CFP
Kerapu
Biologi
anisakis, pseudoterranova, eustrong-ylides

Dioksin
PSP, DSP, NSP, ASP, CFP
Sumber : SEAFDEC, 1997
Dari beberapa literatur potensi hazard dari Salmonella dan Vibrio dalam budidaya udang sering terjadi pertentangan. Dimana menurut Reilly and Twiddy (1992) dalam Mahony (1995), Salmonella dan Vibrio hidup pada bagian tumbuhan alam (plangton) di tambak udang. Namun dari penelitian Dalsgaard et al (1995) dalam Mahony (1995) tidak ditemukan secara nyata Salmonella pada udang maupun tambak udang. Sedangkan dari pengujian BPPMHP (1996) Salmonella positip ditemukan pada pakan ayam, kotoran ayam dan ikan yang memakan kotoran ayam. Dengan demikian Salmonella dapat masuk ke dalam udang/ikan yang dibudayakan, disebabkan dari suplai air dan pakan yang terkontaminasi. Beberapa contoh potensi hazard pada ikan/udang budidaya dapat dililhat pada Tabel 2.


Pemilihan lokasi/tempat
¯
suplai air
¯
Air ¾¾¾¾¾¾¾¾¾ Lingkungan pemeliharaan
Pengeloaan ikan/udang ï¾¾® ¯
Kondisi kolam Produksi * *Persoalan penting di produksi :
Obat/bahan kimia ¯ Pengeloaan kolam, pemberian
Panen pakan dan kesehatan udang
¯
Penerimaan
¯
Pengolahan
¯
Penyimpanan
­ ¯
CCP Pengiriman
Gambar 1. Tahapan budidaya secara umum
Dalam proses pengolahan dan pembekuan udang bahan materialnya antara lain terdiri dari udang itu sendiri,es,dan air.Untuk udang perusahaan langsung mendapatkannya dari para petambak udang,dalam proses penerimaan bahan baku tidak semua udang dari petambak diterima oleh perusahaan.Ada persyaratan-persyaratan khusus yang dikeluarkan perusahaan untuk menentukan baik atau buruknya kualitas udang yang dihasilkan antara lain berdasarkan:
a. SNI (Standar Nasional Indonesia) artinya disini SNI tidak hanya berlaku pada tahap pengolahan dari industry saja tetapi juga pada proses pembudidayaan ditambak yang merupakan titik awal (sebagai hulu) dari input industri pengolahan dan pembekuan udang.Adapun SNI (standar Nasional Indonesia) yang diberlakukan pada pembudidayaan dimulai dari kualitas airnya,kualitas benih yang ditebar,kualitas pakan,metode atau cara pemberian pakan,perlengkapan dan peralatan sanitasiyang ada,metode atau cara pemanenan,serta penanganan lebih lanjut sebelum udang tersebut masuk industry.
b. Standar yang ditetapkan oleh perusahaan itu sendiri,disini setiap perusahaan mempunyai standar-standar sendiri dalam menerima bahan baku dari luar,adapun cara yang dilakukan semua industry dalam menerima bahan baku pada umunya yaitu proses sortirasi yaitu proses memilah-milah antara bahan baku yang bagus dengan bahan baku yang jelek berdasarkan pengamatan visual,bau,kekompakan tubuh udang ketika ditekan (organoleptik)
Dari kedua jenis standar yang sudah ditetapkan ,apabila bahan baku udang dari petambak memenuhi maka akan diterima dan sebaliknya bila tidak memenuhi akan direject (ditolak).Pada sanitasi bahan untuk mencegah kontaminasi bahan dari luar,sebaiknya perusahaan atau industry harus memperhatikan:
a. Memilih supplier yang bersertifikat (memilih bahan baku yang baik atau sesuai dengan yang dibutuhkan)
b. Melihat atau memonitoring suplier dalam proses memperoleh atau menghasilkan bahan baku tersebut.
c. Selalu ada tindakan preventif antara lain dengan adanya GMP (Good manufacturing Product) untuk mencegah kontaminasi ulang (Man , Material , Method , Machine).Jika memang terjadi kontaminasi silang maka produk tersebut akan ditahan untuk diproses ulang tetapi sebelumya dilihat dahulu dimana proses yang menyebabkan kontaminasi silang tersebut untuk ditindaklanjuti agar tidak terjadi kesalahan yang sama.
Untuk bahan baku es penting karena mencakup dari prinsip-prinsip sanitasi karena semua produk perikanan banyak bergantung pada es dan air.Es yang berfungsi sebagai pembeku atau pendingin udang umunya ditempatkan pada tempat pengolahan sementara pada industry.Tempat penyimpanan sementara ini dipakai misalnya ketika datangnya bahan baku udang yang waktunya diluar jam kerja perusahaan maka tempat satu-satunya ditampung d itempat penyimpanan sementara yang berpendingin es agar udang tidak rusak kualitasnya.Dalam memperoleh bahan baku es ini ada perusahaan yang memproduksi es sendiri,dalam hal ini kulitas es dapat terpenuhi sesuai keinginan perusahaan itu sendiri,selain itu perusahaan tersebut dalam proses produksi es harus siap dengan es (ice flag) dimana 1 ice flag menghasilkan 5-10 ton/jam.Untuk perusahaan yang memperoleh bahan baku es dari luar dapat memperoleh es dengan kualitas baik dengan cara menetapkan standar baku mutu es yang sesuai dengan ketetapan SNI,selain itu dapat melakukan pengawasan atau monitoring terhadap supplier tentang proses pembutan es yang dihasilkan dengan harapan es yang dihasilkan kualitasnya layak dipakai atau tidak,selain itu dapat dilakukan sortirasi atas semua es yang masuk dari berbagai macam supplier.
Untuk bahan baku air ini juga sangat penting karena berbagai macam proses pencucian baik alat maupun bahan lainnya termasuk udang menggunakan air.Dalam perusahaan air dapat diperoleh dari berbagai macam ada ynag dari PAM dan ada juga yang memperolehnya dari sumur .Adapun 4 macam penggolongan air berdasarkan kualitasnya antara lain:
1. Golongan A,yaitu air yang lansung dapat dikonsumsi tanpa adanya proses pengolahan lebih lanjut.
2. Golongan B,yaitu air jika dikonsumsi harus dilakukan proeses pengolahan lebih lanjut.
3. Golongan C,yaitu air yang bisa digunakan untuk kegitan pertanian ,peternakan ,dan perikanan.
4. Golongan D,yaitu golongan air yang sudah tercemar dari berbagai macam limbah.
Langkah-langkah penerapan HACCP di budidaya yaitu didahului dengan memenuhi kelayakan dasar (pre-requisite) budidaya. Kelayakan dasar ini berisi GCP (Good Culture Practices) yang mengatur kebersihan umum, pembesaran dan penanganan. Kebersihan umum meliputi kebersihan area, pembersihan peralatan sebelum dan sesudah digunakan dan kebersihan gudang penyimpanan. Sedangkan pembesaran dan penanganan meliputi catatat dalam menjaga dan menyediakan : air dan penggunaan air, pakan dan pemberian pakan, penyakit dan pengontrolan penyakit, obat-obatan dan bahan kimia dengan petunjuk penggunaan, waktu dan periode pemberian; teknik pasca panen, pembersihan produk dengan air bersih, temperatur produk, pencegahan kontaminasi selama panen, sortasi, transpotasi serta kelambatan penanganan seminim mungkin. Secara garis besarnya, alur proses budidaya terdiri dari pemilihan lokasi/tempat budidaya, suplai air, pengelolaan lingkungan ikan/udang yang dipelihara, produksi dan panen (Gambar 1).
Pada periode pemeliharaan udang, waktu pemeliharaan selama 3 – 4 bulan. Sedangkan tahapan yang dilakukan meliputi persiapan kolam (pengeringan, pengapuran, pembrantasan predator dan lain-lainnya), pemasukan air, penyediaan benih/benur, pemberian pakan, perawatan udang (antibiotik, bahan kimia dsb), penggantian air secara berkala, panen, sortasi, pengepakan dan transpotasi ke unit pengolahan. Titik-titik kritis (CCP) yang ada pada alur proses terjadi pada waktu pemeliharaan/pembesaran (growing), dimana pekerjaan yang terdapat pada tahap pemeliharaan adalah pengantian air, pengeloaan udang, kondisi kolam dan penggunaan obat/bahan kimia. Hazard yang potensial adalah Salmonella yang disebabkan oleh suplai air, pakan dan pupuk. Untuk itu perlu menguji penyebab hazard tersebut secara berkala, sedangkan tindakan koreksinya adalah dengan mentreatment atau mencegah hazard tersebut masuk kedalam tempat pemeliharaan. Hazard lain selama pembesaran adalah adanya residu antibiotik atau bahan kimia. Untuk itu perlu dilakukan pencegahannya dengan mengisolasi ikan yang tercemar sampai residu tersebut hilang. Sedangkan pada panen dilakukan secara manual dengan memberikan es pada udang-udang yang ditangkap,disortasi dan dipak dalam es, kemudian dikirim ke industri pengolahan. Hazard yang potensial adalah kontaminasi Salmonella dan adanya benda asing (kaca, rambut, kayu dsb). Generic hazard pada budidaya dapat dilihat Tabel 3.

Tabel 3. Generic HACCP untuk produksi udang budidaya
Tahapan produksi
Hazard
Di pantau oleh
Pemilihan lokasi
Kontaminasi kimia
Kelayakan dasar

Kontaminasi biologi

Pembesaran


- Kondisi kolam
Kontaminasi kimia
GMP
- Suplai air
Salmonella
CCP
- Pakan/pupuk
Salmonella
CCP
- Penggunaan bahan

CCP
Kimia/obat-obatan


Panen
Kontaminasi Salmonella
CCP

Kaca, kayu dll
CCP
Sumber : SEAFDEC, 1997
Dengan adanya HACCP pada unit budidaya yang dilaksanakan dengan konsisten, maka bahan baku yang diterima di unit pengolahan, sudah terjamin mutu dan keamanan. Dengan demikian segala tantangan yang menyangkut issu pada pasar internasional dapat diatasi.
PENANGANAN DAN PENGOLAHAN
Dalam penanganan dan pengolahan pasca panen disamping mengantisipasi mutu dan aspek “food safety” maka perlu dikembangkan jenis olahan yang dapat lebih memberikan nilai tambah dengan diversifikasi olahan dari produk primer ke produk sekunder dan produk siap makan (ready to eat).
Dalam PROTEKAN 2004, komoditi unggulan untuk budidaya kedepan adalah kerapu, udang windu, nila dan rumput laut. Komdoditi tersebut merupakan komdoditi yang banyak diminati oleh negara importir. Berdasarkan data yang dihimpun dari sertifikat ekspor komoditi tersebut diolah dalam bentuk utuh segar/beku, fllet beku, ikan hidup dan rumput laut kering (Tabel 4).
Tabel 4. Jenis olahan dan negara importir komoditi kerapu, nila, udang dan rumput laut.
Jenis olahan
Negara tujuan
Volume (ton) tahun 2000
Kerapu hidup
Hongkong, Singapura, Jepang
454,66
Kerapu segar
Taiwan, RRC, Jepang, Singapura, Hongkong, Malaysia
4.374,54
Kerapu beku
USA, Hongkong, Australia, Inggris, Taiwan, Sinagpura
930,65
Fillet kerapu
Taiwan, Jepang, Singapura, Hongkong
165,01
Fillet nila
USA, Inggris, Singapura
70,69
Nila beku
USA, Kanada, Inggris, Bahrain, Jerman, Perancis
484,43
Udang
Eropa, USA, Jepang, Hongkong, Korea, Thailand, Malaysia, Singapura, Belgia, kanada dsb
91.157,59
Rumput laut
Philipina, Jepang, USA Singapura, Hongkong
2.648,71
Sumber : Sertifat ekspor yang diterima BPPMHP.
Sampai saat ini, ekspor komoditi perikanan Indonesia, sebagian besar masih dalam bentuk utuh (bentuk primer) baik keadaan beku, segar atau hidup. Sedangkan disisi lain, permintaan komoditi perikanan yang mempunyai nilai tambah sangat besar terutama kepasaran Jepang, Amerika, Eropa dan China. Produk-produk budidaya yang banyak dikembangkan menjadi produk bernilai tambah masih didominasi oleh komoditas udang seperti bentuk peel devine boiled shrimp, breaded shrimp yang saat ini permintaannya semakin meningkat dari beberapa negara pengimpor seperti USA, Eropa dan Kanada.
Dari ekspor ikan budidaya seperti ikan nila, sampai saat ini baru dikembangkan dalam bentuk fillet dengan syarat bahan baku yang harus dipenuhi maksimal berukuran 600 gr up dalam keadaan hidup. Sedangkan pada pemasaran dalam negeri ikan nila (< 600 gr) banyak dikembangkan produk-produk fish jelly product dari ikan nila seperti dalam bentuk fish ball, breaded, fih roll dan lain sebagainya. Untuk ikan kerapu, selain ekspor dalam keadaan hidup sudah dikembangkan dalam bentuk segar, beku dan fillet..
III. KESIMPULAN
1. Peluang pengembangan bisnis perikanan diperkirakan akan terus membaik seiring dengan meningkatnya permintaan ikan dipasaran internasional, baik disebabkan karena laju pertumbuhan penduduk, peningkatan pendapatan maupun pergeseran pola konsumsi,kebutuhan manusia akan makanan sehat (healthy food) serta rasa ketidak amanan manusia untuk mengkonsumsi daging ternak
2. Pasar domestik cukup kuat, tercatat dari produksi 4,7 juta ton yang dipasarkan dalam negeri sebesar 4 juta ton dan ini masih belum cukup memenuhi kecukupan pangan penduduk akan ikan. Sedangkan dari penangkapan ikan hampir mendakati titik jenuh. Dengan demikian peluang untuk mengembangkan perikanan budidaya masih sangat besar guna memenuhi kebutuhan pasar domestik dan dunia.
3. Perdagangan ekspor komoditi perikanan cenderung semakin kompetitif. Disamping itu, ekspor komoditi perikanan juga dihadapkan pada berbagai hambatan tarif, food safety, issu lingkungan dan lain-lain. Sedangkan hambatan lainnya berkaitan dengan persyaratan mutu dan sanitasi dan gencarnya kampanye anti udang tambak oleh GAA (Global Aquaculture Alliance) dengan anggapan merusak hutan bakau dan kelestarian lingkungan. Untuk itu produksi perikanan budidaya perlu menerapkan system jaminan mutu/food safety (HACCP) yang diwajibkan oleh CAC/FAO/WHO (Codex Alimentarius Commission) dan negara-negara importir. Disamping itu setiap pembuat tambak udang selalu mengikuti kaidah-kaidah AMDAL.
4. Potensi hazard pada budidaya ikan/udang adalah pada tahap pembesaran (growing) seperti adanya Salmonella yang disebabkan oleh suplai air, pakan dan pupuk. Hazard lain adalah adanya residu antibiotik atau bahan kimia. Untuk itu perlu dilakukan pencegahannya dengan mengisolasi ikan yang tercemar sampai residu tersebut hilang. Sedangkan saat panen hazard yang potensial adalah Salmonella dan adanya benda asing (kaca, kayu dsb).
5. Dalam penanganan dan pengolahan pasca panen disamping mengantisipasi mutu dan aspek “food safety” maka perlu dikembangkan jenis olahan yang dapat lebih memberikan nilai tambah dengan diversifikasi olahan dari produk primer ke produk sekunder dan produk siap makan (ready to eat) Sedangkan untuk rumput laut, dengan mempertimbangkan kebutuhan industri dalam negeri terhadap produk akhir rumput laut yang di import, maka perlu dikembangkan industri pengolahan rumput laut (caragenan, agar, alginat dll)
DAFTAR PUSTAKA
Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan, 1994. Uji coba Depurasi, BPPMHP, Direktorat Jenderal Perikanan, Jakarta.
Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan, 1997. Monitoring Salmonella pada ikan-ikan budidaya. BPPMHP, Direktorat Jenderal Perikanan, Jakarta.
Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan, 1999. Monitoring Sanitasi Kekerangan. BPPMHP, Direktorat Jenderal Perikanan, Jakarta.
Direktorat Jenderal Perikanan, 1995. Promosi Peluang Usaha Di Bidang Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta.
Direktorat Jenderal Perikanan, 2000. Statistik Produksi Perikanan Indonesia tahun 1998. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta.
Direktorat Jenderal Perikanan, 2000. Statistik Ekspor Perikanan Indonesia tahun 1998. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta.
Food and Drug Administration, 1998. Fish and Fisheries Products Hazards and Controls guide. Second edition. US-FDA. Rockville.
Kusumastanto, T., 2001. Potensi dan Peluang Industri Kelautan Indonesia. Makalah Seminar Peluang Usaha dan Teknologi Pendukung pada Sektor Kelautan Indonesia 11 Juli 2001. Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia. Jakarta.
Mahony, 1995. HACCP in Aquaculture: Papers Prepared for PAEC/DOF. Seminar on Quality Assurance for Aquaculture Products. Queen Sirikit National Convention Centre, Bangkok.
Southeast Asian Fisheries Development Centre, 1997. Quality Management for Aquacultured Shrimp. SEAFDEC, Changi, Singapore.
Suboko, B., 2001. Kebutuhan Teknologi Pengolahan dan Delivery Bagi Pelaku Usaha Industri Perikanan Di Indonesia. Makalah Seminar Peluang